Senin, 24 Oktober 2011

Berburu Pelangi

          Berburu pelangi. Siapa yang tak suka melihat pelangi? Siapa yang acuh kala muncul pelangi? Kalau ada, yang pasti saya bukan salah satunya. Saya suka pelangi, suka sekali.
            Umumnya, kita menyukai pelangi, saya yakin Anda juga. Sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, kita patut berbangga, berbahagia dan mensyukuri bisa melihat dan menikmati yang namanya pelangi.
          Namun, bila ditelaah lebih dalam, pelangi tidak muncul sembarangan lho. Memang, pelangi datang di saat cerah, tapi bukan cerah sembarang cerah. Pelangi muncul di saat cerah yang lebih bermakna. Yaitu saat cerah sehabis hujan mendera. Bisa jadi, pelangi muncul setelah bergantiannya hujan dan cerah menyapa dunia. Sering kali, pelangi malah tidak muncul-muncul sehabis hujan, padahal banyak orang yang mengharapkannya, termasuk saya mungkin. Sering juga, pelangi muncul tanpa disangka-sangka, saat banyak orang tidak mengharapkannya. Jadi, bisa dikatakan, pelangi muncul dari sebuah proses yang bisa sebentar, bisa juga panjang. Ya, hasil dari sebuah proses, hujan dan cerah, basah dan kering.
          Lalu apa hubungannya dengan saya? Saya menyadari, pelangi itu ibarat bahagia. Bahagia lebih bermakna jika saya menyadari itu hasil dari proses yang saya lakukan. Proses yang sebagian besar orang menyebutnya dengan, 'perjuangan'. Perjuangan dalam hal apa? Apa pun, selama proses itu berujung dengan kebahagiaan, itulah pelangi! Saya menemukan banyak pelangi dalam semua proses kehidupan. Berkeluarga, bekerja, berhubungan dengan orang lain dan lainnya. Contoh, ketika saya berhasil membangun keakraban dengan orang lain, itulah pelangi saya. Ketika saya dipromosikan dalam pekerjaan, itulah pelangi saya. Ketika keluaga saya mengatakan bahwa mereka sayang kepada saya, itulah pelangi saya.
          Nah, saya baru saja siuman dari ketidaksadaran saya akan pelangi. Sekarang, saya selalu ingin mendapatkan pelangi di setiap proses kehidupan saya. Saya harap Anda juga seperti itu. Banyak pelangi menunggu Anda, dan berada dekat sekali dari Anda. Dan saya pastikan, semakin banyak pelangi yang Anda raih, Anda akan menjadi seseorang yang lebih bermanfaat dari sebelumnya..


Bandung, 24 Oktober 20011
Ary Kurniawan

Sabtu, 22 Oktober 2011

Permaisuriku


Isi tulisan berikut ini tidak pernah saya ceritakan sebelumnya, kepada siapa pun, bahkan kepada permaisuri saya sendiri, tak pernah. Padahal, segala hal yang ada di tulisan ini terkait erat dengannya. Bentuk tulisan ini juga akan saya buat berbeda, menjadi seperti rangkaian momen-momen yang memupuk rasa saya padanya. Rangkaian momen inilah yang membuat saya sadar, jangan pernah meremehkan kekuatan pikiran. Apa yang saya pikirkan, itulah saya.

Desember 1995
Di seuah pesta ulang tahun seorang teman, saya pertama kali melihatnya. Saat itu, hanya melihat dan mengamati saja kemampuan saya. Saya yakin, ia tidak menyadari. Tertegun tak jenuh memperhatikannya. Wajah putih bersih, mata yang jernih dan senyumnya itu lho, langsung tersimpan di pikiran. Sepertinya tak perlu lama lagi, senyum itu akan turun ke hati. Melihat saya yang terbengong-bengong, tuan rumah yang berulang tahun membisikkan namanya ke telinga saya. Monik, lengkapnya Dian Monika. Sejak itu segala sesuatu tentangnya mendadak jadi wajib saya ketahui. Hal pertama dan terpenting, nomor telepon rumahnya, hehehe...

Masih di Desember 1995
Saya beranikan untuk menelepon. Saya ceritakan siapa saya, bagaimana ciri-ciri saya, dan bagaimana saya memperhatikannya di pesta ulang tahun teman itu. Apesnya, Monik sama sekali tidak ngeh ada saya di situ. Ia beralasan, mungkin karena terlalu cepat dijemput sama bapaknya. Jadi, bisa Anda bayangkan, saya terlalu percaya diri merasa dikenal di pesta itu, dan Monik yang juga percaya diri bahwa tidak ngeh dengan saya waktu itu, apes...

Januari 1996
Pada saat perayaan ulang tahun sekolah, seorang teman yang juga sobat dekat Monik menyampaikan kabar bahwa Monik akan mampir ke sekolah. Kami memang berbeda sekolah. Ia di Jakarta Timur, saya di Jakarta Selatan. Mendengar kabar itu, saya ”blingsatan” sendirian. ”Blingsatan” adalah kata yang mewakili ketika bercampurnya perasaan kaget, senang dan grogi. Setidaknya itu menurut saya. Tapi ternyata, saya sedang diuji kesabaran. Monik hanya mampir sebentar, dan tidak sempat bertemu dengan saya. Ingin rasanya saya datang langsung ke rumahnya di Bekasi sana. Tapi karena keterbatasan sumber daya, keinginan itu tak pernah terwujud.

Februari 1996
Di koridor sekolah, teman saya, memberikan satu hadiah kejutan, foto Monik. Sebuah foto hitam putih berukuran tiga kali empat yang biasa tertempel di buku rapor atau ijazah. Foto inilah yang jadi andalan saya untuk melihatnya sesekali. Sampai saya lulus kuliah, foto ini tidak pernah absen dari dompet saya.

Agustus 1996
Diantar dengan dua ”pengawal”, saya datang ke rumahnya. Sempat menunggu lama, karena Monik belum pulang dari sekolahnya. Belum bosan menunggu, sebuah becak menghampiri rumahnya yang berada di pojokan. Monik terlihat kaget melihat ada tiga pemuda di teras rumahnya. Ia baru sadar salah satunya saya ketika becaknya sudah berhenti persis di depan rumahnya. Dua pengawal saya tinggal di teras, kami berdua ngobrol di ruang tengah. Ujung-ujungnya saya, nyatakan rasa suka dan menanyakan kesediaannya menjadi kekasih. Dengan nada datar, kaki disilang dan sambil membaca koran yang dibuka lebar-lebar ia menerima. Dengan catatan tentunya, kami akan mencoba dulu. Dalam hati saya berpikir, pacaran koq coba-coba? Tapi, sudahlah, yang penting rasa suka saya diterima dan kami resmi pacaran.

Oktober 1996
Sesampainya di rumah setelah kembali dari kursus Bahasa Inggris, Monik menelepon, ia minta putus. Alasannya, karena tidak pernah bertemu sekalipun. Tidak pernah merasakan yang namanya jalan berdua, bicara langsung apalagi nonton ke bioskop seperti layaknya orang pacaran, hanya mengandalkan telepon. Kami sepakat menyudahi hubungan dan akan tetap berteman. Pacaran yang aneh.

Maret 1997
Bertemu di Tebet, karena Monik mau ke salah satu lembaga pendidikan untuk membantu kelulusan sekolah dan ujian masuk perguruan tinggi negeri. Seingat saya, ia ditemani seorang teman sekolahnya.

1997 sampai Juni 1998
Jarang sekali berkomunikasi dengannya. Hanya sesekali saja. Itu pun karena saya menuruti kata hati dan pikiran. Kalau saya sedang mengingatnya, ya saya telepon. Mungkin kami sama-sama sedang mempersiapkan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri.

Masih di Juli 1998
Ia menelepon ke rumah, mengucapkan selamat karena saya diterima di salah satu universitas negeri di Bandung. Ia sendiri gagal dan berencana masuk salah satu universitas swasta di Jakarta. Saya anggap itu hanya ucapan seorang teman saja, tak lebih.

Januari 1999
Kami berkomunikasi lewat telepon. Ia bercerita tentang pengalamannya sebagai mahasiswi baru di salah satu kampus di Jakarta. Ia mengambil Fakultas Psikologi. Saya juga tak mau kalah, bercerita mengenai bagaimana nikmatnya jauh dari rumah, tinggal di kos, dan menjadi seorang mahasiswa. Saya juga berkeluh kesah, karena masih kangen pulang. Ia hanya tertawa waktu itu.

Desember 2000
Saya sampaikan ke Monik, di kampus saya sudah memiliki pujaan hati. Monik turut senang. Saya tanyakan bagaimana dengannya. Ia bercerita singkat, ada beberapa yang sedang mendekatinya. Saya percaya, wanita secantik Monik tidak akan sulit mencari kekasih. Tapi, mengapa seperti ada perasaan lain ya? Seperti tidak rela aja dia bersama yang lain. Egois? Sepertinya iya.

Juni 2002
Saya mampir ke kampusnya. Sekedar berjumpa dan sesekali melihat dinamika kampus di ibukota. Ada yang aneh waktu itu, pacar saya ketika itu tahu kalau saya mampir ke kampusnya Monik, alhasil pacar saya marah besar. Pikiran saya menerawang, kenapa cuma kalau saya dengan Monik ya? Setahu saya, tidak dengan sobat-sobat wanita saya yang lain. Apakah ini tanda kalau sebenarnya Monik itu... Ah, saya buang pikiran itu jauh-jauh. Mana mungkin Monik mau kembali dengan saya. Di sekelilingnya banyak pemuda-pemuda yang lebih dari saya mengharapkan cintanya dibalas.

Februari 2003
Saya sedang sibuk dengan skripsi. Ketika berjalan menuju kampus, saya cari nomor telepon genggam dosen pembimbing saya. Tapi mengapa pencarian terhenti pada satu nama di daftar kontak di telepon genggam saya? Nama itu ”Monique” alias Monik. Koq Monik? Pertanyaan saya terjawab beberapa saat kemudian. Tak sengaja, ketika melintas koridor kampus menuju ruang jurusan Jurnalistik, mata saya menangkap sosok yang saya kenal dekat. Monik ada di kampus saya. Ngapain? Dengan segera saya hampiri. Ternyata, ia sedang observasi di Fakultas Psikologi di kampus ini. Seingat saya, beberapa kali Monik datang ke Jatinangor. Kejadian apa ini? Kebetulan? Atau sebuah tanda lagi?

Desember 2003
Saya bekerja di sebuah majalah sebagai Redaktur Eksekutif. Tapi anehnya, seorang Redaktur Eksekutif juga harus membantu menyebarkan majalah yang sudah terbit. Maklum namanya juga majalah komunitas. Ada satu momen menarik, ketika saya sedang mengendarai motor, rekan kerja yang saya bonceng menanyakan pertanyaan yang tidak saya duga. Dengan siapa saya menikah nanti?

Maret 2004
Saya diterima bekerja di salah satu perusahaan swasta di Kuningan. Dalam percakapan melalui telepon, Monik juga menyampaikan kalau ia sudah diterima bekerja di salah satu bank terbesar. Wah, kami sama-sama saling memberikan dukungan waktu itu.

November 2004
Hubungan saya dengan pacar saya merenggang. Saya banyak cerita dengan Monik. Asumsi saya, karena ia lulusan psikologi, seharusnya bisa dijadikan teman bicara. Karena sulit bertemu, pembicaraan kami hanya melalui telepon dan SMS.

Januari 2005
Hubungan saya dengan pacar kandas. Segala harapan dan cita-cita kami sirna dalam sekejap. Saya tak menyalahkan siapapun. Tapi menurut pacar saya, salah satu pemicunya adalah, ada nama lain yang mengisi kotak pesan di telepon genggam saya. Ya, tepat sekali, “Monique”. Sebuah kebetulan atau tanda lagi? Saya ceritakan semuanya ke Monik. Akhirnya ia minta bertemu. Ia datang ke kantor saya, setelah itu kami makan malam di rumah makan cepat saji di Tebet, lalu berbincang-bincang di rumah neneknya di Manggarai.

Mei 2005
Monik mendapatkan kesempatan training beberapa hari di Jakarta. Untuk pulang pergi Bekasi Jakarta dirasa cukup jauh dan menyita waktu. Saya tawarkan untuk mengantar dan menjemputnya selepas training, ia bersedia. 

Juni 2005
Kami berkomitmen tentang hubungan kami. Dan kami tahu tujuan hubungan ini. Di antara beberapa pilihan, Monik memilih saya. Saya juga heran, mengapa saya? Inikah jawaban dari tanda-tanda yang sudah saya alami sebelumnya? Setelah itu, saya menghadap kedua orang tuanya dan menyatakan langsung ingin mempersunting Monik.

Agustus 2005
Keluarga saya berkunjung untuk acara lamaran. Untuk pertama kalinya, secara resmi saya dikenalkan kepada seluruh keluarga besarnya.

Februari 2006
Kami menikah. Cita-cita kami adalah segera mempunyai anak dan memiliki rumah sendiri. Rumah yang sudah kami idamkan sejak lama. Perpaduan selera saya dan seleranya.

Maret 2007
Kami dikaruniai seorang anak laki-laki, Kafka Mory Altamis.

Juli 2007
Kami mendapatkan rumah, persis seperti yang kami impikan. Wow, kekuatan pikiran itu nyata.

Yang ingin saya tekankan adalah, saya percaya, dalam hidup tidak ada yang namanya kebetulan, semuanya berkaitan. Mengapa bisa begitu? Sederhana saja, otak dan pikiran kita adalah biang keroknya. Biang kerok dalam arti positif tentunya. Sekali lagi saya ungkapkan, jangan pernah meremehkan kekuatan pikiran. Saya sudah buktikan sendiri. Rangkaian momen ini menyadarkan saya bahwa pikiran kita sangat luas dan memiliki kapasitas luar biasa, lebih luar biasa dari sebuah komputer tercanggih. Saya yakin, momen-momen yang sudah Anda lalui lebih menarik dari yang selama ini saya alami. Anda hanya tinggal mengeluarkannya dari pikiran Anda. Lebih bagus dibantu oleh isi hati Anda. Caranya banyak sekali, yang paling sering saya lakukan adalah dengan bervisualisasi, memanggil suaranya, menambahkan warnanya serta memperkuatnya. Maka dengan semudah menjentikkan jari, gambar momen Anda akan terlihat seperti foto atau film.
Sekarang mari kita sama-sama singkirkan segala asumsi yang mengungkapkan keterbatasan otak Anda. Misalnya, ”Otak saya cuma mampu segini”, ”Otaknya sudah buntu nih”, dan banyak lainnya. Seorang sobat mengatakan, alam semesta sangat luas membentang, begitu pula pikiran Anda. Amazing...

Bersih Hati Di Jayagiri


Dalam akhir sebuah acara tentang pelantikan pendaki dan pecinta alam di televisi, lagu ini terdengar. Lagu dari Abah Iwan, lengkapnya Iwan Abdulrachman. Judulnya Melati Dari Jayagiri. Pikiran dan hati saya langsung tersambung, memanggil sebuah gambar yang terjadi beberapa tahun lalu. Daya visualisasi saya kembali menyajikan pemandangan nan indah Bandung Utara. Di visualisasi saya itu, saya tidak sendiri, saya bersama seseorang. Siapa ya? Saya perkuat visualisasinya, saya tambahkan warna, saya perkuat dengan suara angin semilir. Seseorang itu pun saya perjelas. Oh, seorang wanita! Masih muda, berambut panjang dan tubuhnya tinggi semampai. Yaahh pasti..!! Saya ingat!! Wanita itu yang dulu saya panggil dengan nama Euis.
Perkenalan kami terjadi karena saya ditugaskan meliput dan membuat tulisan mengenai kehidupan malam di Bandung. Awalnya, nyali saya ciut juga ketika mendapat tugas ini. Tapi, ketika itu saya berpikir, pasti ada manfaat dari tugas ini. Saya berharap, manfaat itu bukan sekedarnya saja. Saya ingin bermanfaat lebih, untuk saya, nara sumber dan siapa tahu orang-orang yang nanti membaca hasil liputan saya.
Siap dengan tantangan baru, esok malamnya saya sudah berada di sebuah pinggiran jalan di Bandung Utara. Menurut beberapa sumber, kawasan inilah yang banyak dijumpai penampakkan “selimut hidup”, begitu beberapa sumber memberikan istilah. Malam itu saya hanya mengamati, masih tidak berani menjalankan tugas. Yang ada di pikiran saya, saya hampiri beberapa ”selimut hidup” itu dan wawancarai langsung. Namun, ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. Nyali saya kembali ciut. Malam itu saya tutup dengan makan serabi, sambil berpikir keras bagaimana cara memulainya. Harap maklum, reporter pemula, masih bau kencur.
Sesampainya di kos saya hubungi seorang rekan yang ketika masih kuliah dulu, pernah membuat penulisan mendalam dengan topik yang sama. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Dari rekan ini saya memperoleh satu nama yang bisa saya temui dan wawancarai. Rekan itu juga sempat memberikan pesan agar berhati-hati, bukan karena banyak preman, tetapi karena si sumber ini berparas cantik. Duh, saya makin penasaran. Malam itu juga saya coba hubungi. Beberapa kali usaha tidak berhasil, mungkin sedang sibuk. Karena putus asa, saya putuskan untuk tidur. Saya akan coba esok hari atau mungkin esok malam. Batas waktu tugas ini lumayan lama, satu pekan, jadi masih ada waktu, pikir saya. Tak diduga, telepon genggam saya berbunyi tepat sebelum tengah malam. Nomornya tak asing, karena nomor itu yang saya hubungi beberapa jam sebelumnya. Di ujung telepon memperkenalkan Euis sebagai namanya. Saya sampaikan maksud dan tujuan saya menghubunginya. Ketika saya sebut nama kampus saya, ia langsung ingat dengan rekan saya yang dulu sempat mewawancarainya untuk tugas kuliah. Kami pun berjanji untuk bertemu esok malam.  
Pada pertemuan pertama, kami hanya bicara ngalor ngidul tidak karuan. Saya tidak langsung tancap gas mengarahkannya pada topik wawancara. Saya ingin mengetahui lebih dahulu tentang sosok Euis yang benar cantik adanya. Walaupun sebenarnya ia beberapa kali mencoba mengarahkan saya ke tujuan mengapa saya ingin bertemu dengannya, saya pura-pura cuek atau langsung mengalihkan ke hal lain. Pada satu kesempatan, Euis terlihat seperti sedang memandang sesuatu, namun tatapannya kosong. Dengan polosnya ia bersenandung. Hmm, saya tidak tahu lagu yang disenandungkannya sampai ia berhenti dan menoleh ke arah saya.
”Barusan lagu yang aku suka banget. Judulnya Melati Dari Jayagiri.” Katanya.
”Hmm, lagu tentang perjuangan?” Tanya saya.
”Perjuangan melawan hidup lebih tepatnya.”
”Maksud kamu?” Selidik saya.
”Perjuangan melawan hidup aku Ry. Menjadi seorang yang terbuang, sampah masyarakat istilahnya. Aku tidak pernah bercita-cita menjadi seperti ini.”
”Yap, aku mengerti. Pertanyaan aku, mengapa bisa jadi seperti ini?”
”Biasalah, terjebak asmara buta. Terlena pria tak bertanggung jawab, ditambah tuntutan hidup. Butuh duit Ry. Sumber duit sudah tidak ada lagi. Sedangkan kebutuhan hidup makin banyak. Uang kuliah juga perlu dibayar kan? Yang paling menyakitkan, pria itu juga sudah menyebarkan berita bahwa aku ini bisa dipakai. Keterusan deh.” Papar Euis sambil tersenyum kecut.
Selanjutnya kami lebih banyak bicara tentang makna-makna hidup dan kehidupan. Persepsi awal saya keliru, Euis tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Ia mengaku tetap melaksanakan kewajibannya sebagai manusia yang beragama. Ternyata benar adanya ungkapan bijak yang mengatakan, peta itu bukan gambaran sebenarnya. Perlu pencarian lebih lanjut. Termasuk persepsi kita tentang seseorang. Jangan pernah berasumsi mengenai seseorang. Karena asumsi-asumsi yang kita buat ibarat racun terhadap pikiran kita sendiri.
”Oh ya Ry, tadi kan kamu tanya Melati Dari Jayagiri, kapan-kapan mau gak temani aku ke sana.” Tanya Euis.
”Di mana tuh?”
”Ngga jauh koq dari sini, masih daerah Lembang koq.”
”Memang ada apa dengan lagu itu?” Tanya saya.
”Lagu itu ibarat pembersihan diri buat aku. Mendengarkan lagu itu benar-benar membuat aku mengerti hidup. Apalagi kalau mendengarkannya langsung di Jayagiri, bisa buat aku merinding sendiri. Kadang ya Ry, aku bisa berjam-jam berada di sana.”
”Ngapain?”
”Ya duduk ajah, merenung, mencoba memaknai apa yang aku lakukan selama ini. Aku sadar, yang aku kerjakan memang berdosa, tapi untuk saat ini, aku yakin Allah memaklumi.  Aku tidak melihat apakah ini benar atau salah, tapi pokoknya yang aku lakukan bermanfaat, setidaknya untuk aku dan mama.”
”Mama?”
”Iya Ry, aku anak satu-satunya. Dari hasil jerih payahku, aku bisa mengirim mama uang tiap bulan. Papa kan udah lama ngga ada. Nah, hal ini yang aku coba pertahankan, walaupun didapat dari kerja yang tidak halal.” Jelasnya.
Hmm, nilai positif seseorang dipertahankan secara konstan, sementara nilai dan kesesuaian perilaku internal dan atau eksternal yang harusnya dipertanyakan. Mungkin kalimat itu cocok untuk menggambarkan seorang Euis.  
Esok lusanya, pagi hari, kami sudah berada di salah satu sudut Jayagiri. Itu pertama kali saya ke sana. Udaranya masih dingin, meskipun waktu merambat menjelang siang.
”Ry, masih ingat yang kamu katakan tentang nilai positif itu?”
”Tentu, baru juga dua hari kemarin, hehehe...”
”Itu yang aku rasain. Aku ngga mau seperti ini terus. Yang pasti, ini semua karena aku, dan aku harus bertanggung jawab dengan jalan hidup yang aku pilih ini.”
”Bagus dong, niat kamu pasti didengar Allah. Lagipula, Allah kan Maha Mengetahui, pasti ada niat posistif dibalik setiap perilaku. Termasuk semua yang kamu lakukan.”
Mendengar itu, Euis tersenyum, senyuman termanis semenjak saya mengenalnya. Seperti yang dikatakan Abah Iwan dalam lagunya, ”Kau beri daku senyum kedamaian”. Ia tak sadar ketika beberapa saat saya tertegun menikmati senyumnya.
”Ry, di sini aku biasa membersihkan jiwa dan hati. Aku yakin, semuanya akan berakhir baik untuk aku dan mamaku. Semua orang pernah berbuat salah kan Ry?”
“Pasti, termasuk aku juga.” Jawab saya.
“Jadi, apa yang mau kamu tanyain Ry. Mulai dong wawancaranya.” Goda Euis sambil menyentuh bahu saya dengan bahunya.
”Hmm, sudah selesai koq. Ternyata tidak ada yang spesial dari kamu, hahaha...!” Canda saya.
”Lho koq? Enak ajah. Gini-gini tampang model mah ada dong. Emang kamu!” Ledeknya.
“Sssstt, jangan berisik. Kita nikmati saja sejuknya alam ini dulu. Aku juga kan pengen membersihkan hati. Di Jakarta ngga ada yang kaya gini nih.” Pinta saya bermanja.  
Kemudian ia membuka tasnya, mengeluarkan alat pemutar lagu. Kami duduk di tepian padang rerumputan. Larut dalam kesejukan udara Jayagiri. Suara Abah Iwan mulai terdengar melantunkan Melati Dari Jayagiri.

Melati... dari Jayagiri
Kuterawang keindahan kenangan
Hari hari lalu di mataku
Tatapan yang lembut dan penuh kasih

Kuingat... di malam itu
Kau beri daku senyum kedamaian
Hati yang teduh dalam dekapan
Dan kau biarkan kukecup bibirmu

Mentari kelak tenggelam
Gelap kan datang
Dingin mencekam

Harapanku bintang kan terang
Memberi sinar
Dalam hatiku

Kuingat... di malam itu
Kau beri daku senyum kedamaian
Mungkinkah akan tinggal kenangan
Jawabnya tertiup di angin lalu

Buat saya saat itu, Euis menjelma menjadi melati dalam lagu tersebut. Ia memang sedang dilanda kegelapan, tapi pasti harapan terang kan datang. Saya melihat harapan itu dalam dirinya. Saya kutip ucapan Abah Iwan sebelum mendendangkan lagu ini.
“Mungkin suatu waktu gelap kan datang, tetapi jangan putus harapan, berharap bintang kan terang memberi sinar di dalam hati kita.”
Teruntuk Euis di mana pun kini kamu berada.

Oncom Goreng


Buat saya, akhir pekan adalah saat yang paling tepat untuk menikmati kesendirian. Bahasa kerennya, saya sediakan waktu untuk meeting terpenting, yaitu meeting dengan saya sendiri. Lalu di manakah saya biasa meeting dengan diri sendiri? Bukan di tempat yang terpencil, apalagi tertutup. Tempatnya cukup di beranda rumah. Tak hiraukan si mbak yang mondar mandir bawa cucian yang akan dijemur, Kafka yang teriak-teriak di garasi sambil bersepeda atau mandanya Kafka yang sesekali menengok dan menawarkan minuman atau makanan kecil. Nah, bicara soal makanan kecil, ada satu kesukaan saya. Kalau lagi ngidam makanan ini, pagi harinya saya dan permaisuri pergi ke blok paling ujung perumahan untuk membeli bahannya. Memang apa sih makanan kecil kesukaan saya itu? Sederhana, tampilannya tidak menarik dan murah. Dengan bangga saya katakan, makanan kecil itu adalah oncom, lebih tepatnya oncom goreng.
Sabtu pagi itu sehabis hujan. Ternyata udara Bekasi bisa juga jadi sejuk. Udara dingin, masih pagi, akhir pekan pula. Pikiran saya mengerucut ke makanan kecil kesukaan saya itu, oncom goreng. Saya paksa permaisuri segera berganti pakaian, kalau saya kan cukup dengan celana pendek dan kaos. Saya larikan motor ke blok ujung. Permaisuri belanja kebutuhan dapur, saya, oncomlah yang pertama dicari. Sesampainya di rumah, dengan kecepatan penuh saya delegasikan pembuatan oncom goreng kepada si mbak. Saya ambil koran dan menunggu dengan sabar di beranda. Biasanya kurang dari setengah jam, oncom goreng dan teh manis hangat sudah terhidang di meja teras. Kalau sudah begitu, saya langsung berniat. ”Hari ini akan menyenangkan seperti yang sudah-sudah dan akan datang.” Nikmat ya..?
Baru saja beberapa potong ternikmati oncom gorengnya, suara penanda chat berbunyi di telepon genggam. Sebagai lulusan komunikasi, pantang katanya kalau menunda-nunda proses komunikasi yang terjadi. Saya buka pesannya, ternyata dari seorang sobat yang berprofesi sebagai tenaga pemasaran di kantor.
”Ry, minta saran dong. Bentar lagi gue mau jadi pembawa acara di kantor. Gue grogi berat neh! Apa ya yang bisa menghilangkan groginya gue itu?” Tanyanya.
Hmm, sesaat saya berpikir, tapi bukan berpikir tentang pertanyaan sobat itu, melainkan saya berpikir, saya makan dulu oncom goreng selanjutnya atau saya jawab dulu pertanyaannya? Hehehe... Akhirnya saya putuskan menjawab pesannya terlebih dahulu. Biarlah oncom goreng tetap merangsang saya, sehingga nalar saya dengan lancar keluar untuk menjawab pesan tersebut. Tujuannya, ya lebih cepat pesan dijawab, lebih cepat pula saya melahap oncom goreng berikutnya. Sederhana kan?
”Mudah koq. Cara pertama, lo merem aja, visualisasikan lo di tempat acara dan lo dengan lancar membawakan acaranya. Terus tambahkan tepuk tangan penonton yang meriah menyambut lo.”
”Cara kedua Ry?”
”Yang kedua lebih sederhana lagi. Terserah mau merem atau nggak, lo ngomong aja sama diri lo sendiri, jadi diri sendiri, be natural. Cara kedua ini berhasil koq di gue.”
“Thanks ya Ry!” Kalimat terakhir dari sobat saya menandakan percakapan selesai. Langsung, oncom goreng berikutnya masuk ke mulut.
Hanya selang beberapa menit, telepon genggam saya berbunyi lagi. Kali ini panggilan masuk. Dengan joroknya, saya bersihkan sisa minyak di tangan ke kaos saya. Kalau permaisuri dan si mbak tahu, pasti protes, hehehe... Saya terima panggilan telepon tersebut. Hmm, seorang sobat yang berprofesi sama dengan yang sebelumnya chat dengan saya. Setelah beberapa kalimat pengantar pembuka percakapan, sobat ini bertanya satu hal.
”Ry, nanti gue ketemu tim gue. Ada satu orang yang sukanya becanda melulu. Kadang, gue serius pun langsung dibecandain sama dia. Gue bingung nih. Kalau gue turutin kelakuannya, kan gak enak sama anggota tim yang lain. Menurut lo gimana Ry?”
Saya lirik oncom goreng yang masih tersisa beberapa potong. Lumayan sebagai penyemangat untuk menjawab pertanyaan.
”Menurut gue sih, ini menurut gue ya. Lo nikmati aja dulu candaannya. Resapi lawakannya. Kalau memang ternyata lucu, ya tertawalah, jangan ditahan-tahan.”
”Koq gitu Ry?”
”Lho iya dong. Setiap orang itu memiliki model dunianya masing-masing. Dia punya dunianya sendiri, dan lo juga punya dunia lo. Untuk masuk ke salah satu dunianya, maka harus bisa menyerap apa yang ada di dunia orang lain. Kalau dunia orang itu penuh dengan canda, tertawa, maka ikutilah. Masuklah ke dunianya. Ketika dia tahu dan merasakan lo udah masuk ke dunianya, akan mudah pula dia masuk ke dunia lo.”
“Kalau ternyata mentok gimana Ry?” Tanyanya lagi.
”Pakai cara lain dong, jangan hanya terpaku dengan satu cara. Ingat! Seribu cara untuk satu sasaran.”
”Siap Pak! Hehehe... Tapi gimana cara lainnya? Kalau dia ngga berhenti-berhenti gimana tuh?” Tanyanya makin penasaran.
Hmm, oncom goreng selanjutnya sedikit tertunda nih, pikir saya.  
”Disela dengan cara yang halus dan menyenangkan.” Lanjut saya.
”Misalnya?”
”Ketika waktunya kamu untuk serius, dan dia masih saja bercanda ria, kamu katakan saja kalau pertunjukkan lawaknya atau ludruknya lucu sekali. Terus, minta dia untuk menyimpan terlebih dahulu candanya yang lain, karena mau ada rentetan ”iklan” yang mau lewat. Nah, ”iklan” ini isinya lo yang bicara. Mudah kan?”
”Wah, boleh juga tuh Ry. Ngga nyangka lo ngasih saran itu. Thanks ya Ry.”
”Semoga berhasil ya!”
Percakapan selesai. Telepon genggam saya letakkan lagi di meja, setelah itu saya ambil oncom goreng berikutnya. Anggap saja, oncom demi oncom yang saya nikmati adalah reward percakapan saya dengan dua sobat tadi.  Semoga bermanfaat untuk mereka, mudah-mudahan.
Baru saja saya akan menikmati oncom goreng terakhir, suara penanda chat telepon genggam berbunyi lagi. Kali ini dari sobat lama, sobat di kampus. Ada satu pertanyaan yang menggelitik saya sampai saat ini.
”Ry, untuk ukuran laki-laki, lo termasuk menikah muda. Pertanyaan gue kenapa?”
”Hah?! Masa sih? Waktu menikah usia gue dua puluh enam tahun lho. Buat gue itu itu udah cukup.” Jawab saya.
”Ya itu kan menurut lo, menurut orang lain belum tentu, terutama gue. Coba lo kasih tahu gue alasan apa yang membuat gue lo menikah di usia muda?” Tanyanya kemudian.
”Banyak!” Saya jawab sekenanya.
”Apa?”
”Banyaklah! Bosan disebut pacar, ingin disebut suami. Ingin status di Kartu Tanda Penduduk naik levelnya jadi “Kawin”. Terus, bosan dipanggil Mas, karena ingin cepat punya anak dan dipanggil Pak. Terus ingin punya mertua. Ingin punya rumah dua, rumah orang tua dan rumah mertua.”
“Gelo siah Ry! Hahaha…! Tapi ada benarnya juga ya itu! Hahaha...! Nah, sekarnag jawaban seriusnya dong!” Desaknya.
”Itu justru jawaban seriusnya, hehehe... Nah, kalau jawaban serius lainnya, mengapa menikah muda? Ya karena gue ingin bermanfaat lebih dulu dan lebih lama untuk istri, anak dan keluarga gue. Ingat ya, bermanfaat lebih dulu dan lebih lama dibanding kalau gue menunda-nunda untuk menikah.”
”Kalau memang alasan itu, bagus Ry. Kena nih di gue.”
Sesaat sobat saya terdiam, saya pun terdiam. Cerdas juga jawaban saya itu, saya puji diri saya sendiri. Pasti karena efek dari gizi yang terkandung dalam oncom goreng ini, canda saya dalam hati.   
”Tumben lo jadi cerdas gitu, hehehe... Ya sudah, senang ngobrol sama lo. Terima kasih ya. Selamat hari Sabtu!”
”Sama-sama ya!” Tutup saya.
Oke, langsung saya embat oncom goreng terakhir. Teriakan permaisuri dari dalam rumah terdengar.
“Pandaaaaaa...!! Mandiii...!!”