Sabtu, 22 Oktober 2011

Permaisuriku


Isi tulisan berikut ini tidak pernah saya ceritakan sebelumnya, kepada siapa pun, bahkan kepada permaisuri saya sendiri, tak pernah. Padahal, segala hal yang ada di tulisan ini terkait erat dengannya. Bentuk tulisan ini juga akan saya buat berbeda, menjadi seperti rangkaian momen-momen yang memupuk rasa saya padanya. Rangkaian momen inilah yang membuat saya sadar, jangan pernah meremehkan kekuatan pikiran. Apa yang saya pikirkan, itulah saya.

Desember 1995
Di seuah pesta ulang tahun seorang teman, saya pertama kali melihatnya. Saat itu, hanya melihat dan mengamati saja kemampuan saya. Saya yakin, ia tidak menyadari. Tertegun tak jenuh memperhatikannya. Wajah putih bersih, mata yang jernih dan senyumnya itu lho, langsung tersimpan di pikiran. Sepertinya tak perlu lama lagi, senyum itu akan turun ke hati. Melihat saya yang terbengong-bengong, tuan rumah yang berulang tahun membisikkan namanya ke telinga saya. Monik, lengkapnya Dian Monika. Sejak itu segala sesuatu tentangnya mendadak jadi wajib saya ketahui. Hal pertama dan terpenting, nomor telepon rumahnya, hehehe...

Masih di Desember 1995
Saya beranikan untuk menelepon. Saya ceritakan siapa saya, bagaimana ciri-ciri saya, dan bagaimana saya memperhatikannya di pesta ulang tahun teman itu. Apesnya, Monik sama sekali tidak ngeh ada saya di situ. Ia beralasan, mungkin karena terlalu cepat dijemput sama bapaknya. Jadi, bisa Anda bayangkan, saya terlalu percaya diri merasa dikenal di pesta itu, dan Monik yang juga percaya diri bahwa tidak ngeh dengan saya waktu itu, apes...

Januari 1996
Pada saat perayaan ulang tahun sekolah, seorang teman yang juga sobat dekat Monik menyampaikan kabar bahwa Monik akan mampir ke sekolah. Kami memang berbeda sekolah. Ia di Jakarta Timur, saya di Jakarta Selatan. Mendengar kabar itu, saya ”blingsatan” sendirian. ”Blingsatan” adalah kata yang mewakili ketika bercampurnya perasaan kaget, senang dan grogi. Setidaknya itu menurut saya. Tapi ternyata, saya sedang diuji kesabaran. Monik hanya mampir sebentar, dan tidak sempat bertemu dengan saya. Ingin rasanya saya datang langsung ke rumahnya di Bekasi sana. Tapi karena keterbatasan sumber daya, keinginan itu tak pernah terwujud.

Februari 1996
Di koridor sekolah, teman saya, memberikan satu hadiah kejutan, foto Monik. Sebuah foto hitam putih berukuran tiga kali empat yang biasa tertempel di buku rapor atau ijazah. Foto inilah yang jadi andalan saya untuk melihatnya sesekali. Sampai saya lulus kuliah, foto ini tidak pernah absen dari dompet saya.

Agustus 1996
Diantar dengan dua ”pengawal”, saya datang ke rumahnya. Sempat menunggu lama, karena Monik belum pulang dari sekolahnya. Belum bosan menunggu, sebuah becak menghampiri rumahnya yang berada di pojokan. Monik terlihat kaget melihat ada tiga pemuda di teras rumahnya. Ia baru sadar salah satunya saya ketika becaknya sudah berhenti persis di depan rumahnya. Dua pengawal saya tinggal di teras, kami berdua ngobrol di ruang tengah. Ujung-ujungnya saya, nyatakan rasa suka dan menanyakan kesediaannya menjadi kekasih. Dengan nada datar, kaki disilang dan sambil membaca koran yang dibuka lebar-lebar ia menerima. Dengan catatan tentunya, kami akan mencoba dulu. Dalam hati saya berpikir, pacaran koq coba-coba? Tapi, sudahlah, yang penting rasa suka saya diterima dan kami resmi pacaran.

Oktober 1996
Sesampainya di rumah setelah kembali dari kursus Bahasa Inggris, Monik menelepon, ia minta putus. Alasannya, karena tidak pernah bertemu sekalipun. Tidak pernah merasakan yang namanya jalan berdua, bicara langsung apalagi nonton ke bioskop seperti layaknya orang pacaran, hanya mengandalkan telepon. Kami sepakat menyudahi hubungan dan akan tetap berteman. Pacaran yang aneh.

Maret 1997
Bertemu di Tebet, karena Monik mau ke salah satu lembaga pendidikan untuk membantu kelulusan sekolah dan ujian masuk perguruan tinggi negeri. Seingat saya, ia ditemani seorang teman sekolahnya.

1997 sampai Juni 1998
Jarang sekali berkomunikasi dengannya. Hanya sesekali saja. Itu pun karena saya menuruti kata hati dan pikiran. Kalau saya sedang mengingatnya, ya saya telepon. Mungkin kami sama-sama sedang mempersiapkan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri.

Masih di Juli 1998
Ia menelepon ke rumah, mengucapkan selamat karena saya diterima di salah satu universitas negeri di Bandung. Ia sendiri gagal dan berencana masuk salah satu universitas swasta di Jakarta. Saya anggap itu hanya ucapan seorang teman saja, tak lebih.

Januari 1999
Kami berkomunikasi lewat telepon. Ia bercerita tentang pengalamannya sebagai mahasiswi baru di salah satu kampus di Jakarta. Ia mengambil Fakultas Psikologi. Saya juga tak mau kalah, bercerita mengenai bagaimana nikmatnya jauh dari rumah, tinggal di kos, dan menjadi seorang mahasiswa. Saya juga berkeluh kesah, karena masih kangen pulang. Ia hanya tertawa waktu itu.

Desember 2000
Saya sampaikan ke Monik, di kampus saya sudah memiliki pujaan hati. Monik turut senang. Saya tanyakan bagaimana dengannya. Ia bercerita singkat, ada beberapa yang sedang mendekatinya. Saya percaya, wanita secantik Monik tidak akan sulit mencari kekasih. Tapi, mengapa seperti ada perasaan lain ya? Seperti tidak rela aja dia bersama yang lain. Egois? Sepertinya iya.

Juni 2002
Saya mampir ke kampusnya. Sekedar berjumpa dan sesekali melihat dinamika kampus di ibukota. Ada yang aneh waktu itu, pacar saya ketika itu tahu kalau saya mampir ke kampusnya Monik, alhasil pacar saya marah besar. Pikiran saya menerawang, kenapa cuma kalau saya dengan Monik ya? Setahu saya, tidak dengan sobat-sobat wanita saya yang lain. Apakah ini tanda kalau sebenarnya Monik itu... Ah, saya buang pikiran itu jauh-jauh. Mana mungkin Monik mau kembali dengan saya. Di sekelilingnya banyak pemuda-pemuda yang lebih dari saya mengharapkan cintanya dibalas.

Februari 2003
Saya sedang sibuk dengan skripsi. Ketika berjalan menuju kampus, saya cari nomor telepon genggam dosen pembimbing saya. Tapi mengapa pencarian terhenti pada satu nama di daftar kontak di telepon genggam saya? Nama itu ”Monique” alias Monik. Koq Monik? Pertanyaan saya terjawab beberapa saat kemudian. Tak sengaja, ketika melintas koridor kampus menuju ruang jurusan Jurnalistik, mata saya menangkap sosok yang saya kenal dekat. Monik ada di kampus saya. Ngapain? Dengan segera saya hampiri. Ternyata, ia sedang observasi di Fakultas Psikologi di kampus ini. Seingat saya, beberapa kali Monik datang ke Jatinangor. Kejadian apa ini? Kebetulan? Atau sebuah tanda lagi?

Desember 2003
Saya bekerja di sebuah majalah sebagai Redaktur Eksekutif. Tapi anehnya, seorang Redaktur Eksekutif juga harus membantu menyebarkan majalah yang sudah terbit. Maklum namanya juga majalah komunitas. Ada satu momen menarik, ketika saya sedang mengendarai motor, rekan kerja yang saya bonceng menanyakan pertanyaan yang tidak saya duga. Dengan siapa saya menikah nanti?

Maret 2004
Saya diterima bekerja di salah satu perusahaan swasta di Kuningan. Dalam percakapan melalui telepon, Monik juga menyampaikan kalau ia sudah diterima bekerja di salah satu bank terbesar. Wah, kami sama-sama saling memberikan dukungan waktu itu.

November 2004
Hubungan saya dengan pacar saya merenggang. Saya banyak cerita dengan Monik. Asumsi saya, karena ia lulusan psikologi, seharusnya bisa dijadikan teman bicara. Karena sulit bertemu, pembicaraan kami hanya melalui telepon dan SMS.

Januari 2005
Hubungan saya dengan pacar kandas. Segala harapan dan cita-cita kami sirna dalam sekejap. Saya tak menyalahkan siapapun. Tapi menurut pacar saya, salah satu pemicunya adalah, ada nama lain yang mengisi kotak pesan di telepon genggam saya. Ya, tepat sekali, “Monique”. Sebuah kebetulan atau tanda lagi? Saya ceritakan semuanya ke Monik. Akhirnya ia minta bertemu. Ia datang ke kantor saya, setelah itu kami makan malam di rumah makan cepat saji di Tebet, lalu berbincang-bincang di rumah neneknya di Manggarai.

Mei 2005
Monik mendapatkan kesempatan training beberapa hari di Jakarta. Untuk pulang pergi Bekasi Jakarta dirasa cukup jauh dan menyita waktu. Saya tawarkan untuk mengantar dan menjemputnya selepas training, ia bersedia. 

Juni 2005
Kami berkomitmen tentang hubungan kami. Dan kami tahu tujuan hubungan ini. Di antara beberapa pilihan, Monik memilih saya. Saya juga heran, mengapa saya? Inikah jawaban dari tanda-tanda yang sudah saya alami sebelumnya? Setelah itu, saya menghadap kedua orang tuanya dan menyatakan langsung ingin mempersunting Monik.

Agustus 2005
Keluarga saya berkunjung untuk acara lamaran. Untuk pertama kalinya, secara resmi saya dikenalkan kepada seluruh keluarga besarnya.

Februari 2006
Kami menikah. Cita-cita kami adalah segera mempunyai anak dan memiliki rumah sendiri. Rumah yang sudah kami idamkan sejak lama. Perpaduan selera saya dan seleranya.

Maret 2007
Kami dikaruniai seorang anak laki-laki, Kafka Mory Altamis.

Juli 2007
Kami mendapatkan rumah, persis seperti yang kami impikan. Wow, kekuatan pikiran itu nyata.

Yang ingin saya tekankan adalah, saya percaya, dalam hidup tidak ada yang namanya kebetulan, semuanya berkaitan. Mengapa bisa begitu? Sederhana saja, otak dan pikiran kita adalah biang keroknya. Biang kerok dalam arti positif tentunya. Sekali lagi saya ungkapkan, jangan pernah meremehkan kekuatan pikiran. Saya sudah buktikan sendiri. Rangkaian momen ini menyadarkan saya bahwa pikiran kita sangat luas dan memiliki kapasitas luar biasa, lebih luar biasa dari sebuah komputer tercanggih. Saya yakin, momen-momen yang sudah Anda lalui lebih menarik dari yang selama ini saya alami. Anda hanya tinggal mengeluarkannya dari pikiran Anda. Lebih bagus dibantu oleh isi hati Anda. Caranya banyak sekali, yang paling sering saya lakukan adalah dengan bervisualisasi, memanggil suaranya, menambahkan warnanya serta memperkuatnya. Maka dengan semudah menjentikkan jari, gambar momen Anda akan terlihat seperti foto atau film.
Sekarang mari kita sama-sama singkirkan segala asumsi yang mengungkapkan keterbatasan otak Anda. Misalnya, ”Otak saya cuma mampu segini”, ”Otaknya sudah buntu nih”, dan banyak lainnya. Seorang sobat mengatakan, alam semesta sangat luas membentang, begitu pula pikiran Anda. Amazing...

1 komentar:

  1. ikutan ah dg kekuatan pikiran membayangkan pangeranku.....thank u ...y mas broo....jd membuka cakrawala otakku....

    BalasHapus