Jumat, 21 Oktober 2011

Mendengarkan Dengan Hati


Membaca iklan bertajuk “Mendengarkan dengan Hati”, pikiran saya langsung mengingat kajian-kajian dalam ilmu komunikasi yang saya ketahui. Satu kajian mengatakan, ketika berkomunikasi dengan orang lain, proses paling menantang justru pada saat mendengarkan. Mengapa? Karena proses mendengarkan sering terganggu oleh pikiran-pikiran kita sendiri yang mengurangi keefektifan berkomunikasi dan menghasilkan yang namanya ”bukan murni mendengarkan”. Nah, mendengarkan secara sederhana saja sulit, apalagi mendengarkan dengan hati? Untuk mencari jawaban atas pertanyaan ini, saya butuh orang lain. Naluri keingintahuan pun muncul.

          Senin, 8 Maret 2010, sejak pagi hari, saya mulai bergerilya. Bertanya ke siapa saja selama perjalanan dinas luar kota. Pertanyaan saya sederhana sekali, ”Apa yang ada di pikiran Anda tentang Mendengarkan dengan Hati?” Dari sekian banyak obrolan, ada beberapa komentar yang berhasil menginspirasi saya.

Tukang ojeg dekat rumah
”Gini mas, kalo buat saya, mendengarkan dengan hati itu saya pake sewaktu motor saya ngadat, saya dengerin mesinnya, tandanya harus service alias dirawat, hehehe...”

Penjaga tiket parkir
”Serius nih mas? Hmm... Mendengarkan dengan hati adalah waktu saya tersenyum dan ikhlas melayani setiap ada mobil atau motor yang masuk parkir, meskipun saya berjam-jam duduk di loket ini. Karena saya digaji dari itu.”

Seorang Bapak yang duduk bersebelahan di bus
”Sederhana, tapi sulit mas. Menurut saya, kesesuaian antara apa yang kita dengarkan dan ucapkan dengan isi hati.”

Pelayan restoran di bandara
”Waktu saya menyediakan pesanan dengan tidak cemberut mas, apalagi kalo ada tamu yang ngeselin. Kudu sabar gitu deh mas.”

Seorang Ibu petugas toilet, Gate F6
”Hehehe... Saya ngga ngerti mas, tapi biasanya sih yang berhubungan dengan hati itu berat. Ngedengerin orang pake hati apalagi, kebanyakan kan masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Eh, maaf mas, jadi sok pinter.”

Seorang Bapak di kursi 7D, saya di 7F, kursi tengah kosong
“Tidak semua orang bisa, untuk menerapkannya, seseorang harus memiliki niat baik dan ketulusan. Ini syarat utama mendengarkan dengan hati.” 

Petugas House Keeping yang meminjamkan sajadah
”Buat saya, menyimak dengan tulus dan mengerjakan kebaikan untuk orang lain Pak!”

          Berdasarkan komentar-komentar yang luar biasa di atas, izinkan saya untuk menyimpulkan. ”Mendengarkan dengan Hati” adalah sebuah kekuatan ketulusan. Pastinya, kekuatan inilah yang membuat kita menjadi lebih baik.
Benarlah adanya sebuah kutipan dari materi training seorang rekan, jarak terjauh di dunia ini hanya kurang lebih 30 cm. Yaitu jarak antara pikiran di otak (kepala) ke hati kita (dada). Perlu menundukkan kepala untuk mendekatkan keduanya. Atau bahkan bersujud untuk lebih menghargai dan meninggikan hati yang sering tertutupi pikiran kita. Biarkan hati lebih berperan kali ini, seperti ketika ”Mendengarkan dengan Hati”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar