Jumat, 21 Oktober 2011

Aku Percaya Maka Aku Lihat


Banyak hal yang bisa kita katakan sebagai kesuksesan atau pencapaian hidup. Lebih spesifik, bagi sebagian orang, pencapaian hidup adalah ketika kita bekerja di tempat yang bonafid, berkeluarga, memiliki mobil, rumah dan lain sebagainya. Namun, pernahkah kita menelaah proses pencapaian kita itu? Ada makna lebih yang dapat kita peroleh, bahkan lebih bermakna dari wujud pencapaiannya itu sendiri.
          Seperti yang saya alami pada pertengahan tahun 2007 lalu. Ketika saya berniat untuk membeli sebuah rumah. Setelah satu tahun tinggal di rumah sewaan, saya dan permaisuri kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Maksudnya, menumpang di rumah orang tuanya. Komitmen kami waktu itu sederhana, ”menumpang untuk membeli”, hehehe... Maksudnya, kami menumpang sambil mengumpulkan uang untuk setidaknya memenuhi uang muka untuk membeli rumah sendiri. Jadilah kami tinggal di Pondok Mertua Indah.  
          Selang dua bulan, dengan kepercayaan diri tinggi namun dengan dana rendah, kami memberanikan melihat-lihat rumah yang dijual. Sengaja kami pilih lokasi yang tidak jauh dari orang tua. Nah, masalahnya, jarang sekali perumahan baru, yang tersedia adalah rumah-rumah lama yang pastinya memerlukan biaya tambahan untuk renovasi. Sedangkan, untuk melihat perumahan baru yang bangunannya minimalis dan modern, nyali kami sudah terlanjur ciut, karena menyadari dana yang rendah tadi.
          ”Ah, tetap mencari, pasti ada yang cocok dengan selera dan kantong,” pikir saya waktu itu.
          Permaisuri saya sih ikut saja, karena dia tahu, kalau saya sedang semangat akan sesuatu, sejauh apa pun dilakoni. Bawaan dari orok sih. Entah ada angin apa, kami mencari tanpa arah, ditemani si bohay, motor kesayangan saya.
          ”Ini komplek apa ya Manda?”
          ”Masih di daerah Pekayon koq,” jawabnya.
          ”Kita cari lebih ke dalam ya, kamu belum capek kan?”
          ”Gak, cari rumah koq capek. Percaya aja, kita pasti dapat.”
          Sepintas saya tak hiraukan ucapannya. Tapi, sebelum saya menyalakan motor untuk melanjutkan pencarian, saya berpikir, percaya aja? Maksudnya? Motor saya jalankan dengan kening berkerut.  
          Karena hari itu hari libur, banyak portal yang ditutup, sehingga saya mengikuti saja jalan yang dibuka. Sampai kami berhenti di sebuah rumah dengan plang ”dijual” menempel di pagar.  Ada perasaan lain yang saya rasakan, entah permaisuri saya. Tapi bukan tentang rumahnya, seperti ada rasa yang mengiyakan bahwa kami akan tinggal dekat sini. Rasa optimis? Atau kege’eran? Celingak celinguk kami melongok ke balik pagar. Rumahnya kosong tak berpenghuni, pagarnya berdebu, sampah berserakan di teras dan mudah dipastikan, rumah ini butuh perbaikan yang tidak sedikit. Saya lirik permaisuri.
          ”Bagaimana menurut kamu?”
          ”Hmm, renovasinya banyak ya Panda?”
          ”Kamu kejauhan mikirnya. Sederhanakan dulu, berminat atau tidak?”
          ”Hmm, menurut kamu?”
          ”Jiaahh Manda, ditanya malah balik tanya, capede ah.”
          Diskusi kami dipotong seorang ibu yang muncul dari rumah sebelahnya.
          ”Mau lihat-lihat rumah ya? Rumahnya memang kosong. Pemiliknya adik suami saya. Mereka pindah ke Semarang. Kalau mau lihat ke dalam, biar saya ambil kuncinya.”
          ”Wah, boleh Bu, terima kasih.”
          Selesai melihat-lihat semua ruangan, kami kembali ke luar. Mungkin karena sering ditutup, ruangan di rumah itu sedikit pengap. Tidak perlu waktu lama bagi saya untuk merasakan pening. Anehnya, perasaan lain yang seakan mengiyakan saya akan berada di sini seketika hilang. Kami kembali ke jalan depan rumah tersebut. Ternyata sudah ditunggu suaminya Ibu ini.
          ”Kalau masih melihat-lihat, rumah depan juga dijual koq Mas. Tapi memang tidak memasang plang seperti ini, karena sekarang sedang dikontrakkan,” katanya.
          ”Kalau mau lihat rumah depan, biar saya kenalkan dengan pengontraknya. Tidak apa-apa koq Mas,” tambah sang suami.
          Saya dan permaisuri dipersilakan masuk ke rumah yang ukuran dan luasnya sama dengan rumah di seberangnya. Bedanya, rumah yang ini lebih rapi, bersih. Ya iya lah, lha wong ada penghuninya. Oh ya, beranda depannya juga masih asri, ada lahan untuk tanaman. Saya langsung membayangkan duduk di teras ini, sambil melihat anak dan istri saya bersenda gurau.
          ”Lho lho lho... Koq perasaan ini muncul lagi?” Saya tertegun.
          Saya lirik permaisuri saya, mulai sering tersenyum. Pasti pikirannya sudah larut dalam bayangan-bayangan yang menyenangkan di rumah ini.
          “Rumah ini kah? Hmm, percaya saja.” Pikir saya dalam hati.
          Kemudian saya tanya harganya, Anda tahu reaksi saya ketika mendengar berapa harganya? Saya kembali tertegun.
          “Wah, ini sih nyampe nih!” Dalam hati saya mengisyaratkan untuk mengusahakan rumah ini, ya rumah ini.
          Di perjalanan pulang saya tanya permaisuri.
          “Gimana Manda menurut kamu rumah yang terakhir kita lihat?”
          “Aku lebih memilih yang itu, masih ada tamannya, masih asli.”
          Sebenarnya saat itu pikiran kami berkecamuk, pemilik rumah itu berada di Sumatera Barat. Seorang ibu dengan dua anak, menjanda akibat musibah Tsunami. Sang suami dan tiga anaknya yang lain meninggal dunia. Saya sudah membayangkan kendala-kendala yang mungkin saya alami selama proses pembeliannya. Yang paling nyata, saya akan sering menelepon ke sana. Saya agak sangsi, proses ini akan berjalan mulus.
          Sesampainya di rumah, kami konsultasi dengan orang tua. Mereka mendukung, juga mengingatkan, agar lebih sabar. Karena, membeli rumah itu tidak sama seperti membeli kacang. Tidak asal pilih, comot, cobain terus nikmati. Rumah ibarat istana bagi setiap keluarga. Dan keluarga yang menghuninya ibarat nyawa bagi rumah itu. Kembali lagi saya berpikir, ”Percaya saja. Kalau memang itu rumah kami nanti, mudahkanlah ya Tuhan.”
          Sore harinya kami sempatkan mendatangi rumah itu lagi. Kali ini didampingi oleh mertua saya. Kami tidak masuk, hanya melihat dari luar, takut mengganggu penghuni rumah yang mungkin sedang beristirahat. Kembali perasaan itu muncul lagi, bahkan makin kuat. Permaisuri mendekati saya dan membisikkan sesuatu.
          ”Percaya aja ya Panda. Kita berusaha dulu, setelah itu kita lihat, bisa tercapai atau tidak memiliki rumah ini. Pokoknya, apa yang Panda pilih dan lakukan, Manda dukung.”
          Saya tidak jawab, hanya diam memandangi jengkal demi jengkal rumah ini. Tapi kelamaan makin tidak fokus. Ada air mengalir ke hidung saya. Saya cari sumbernya, ternyata dari mata saya, berkaca karena penuh air. Saya agak menjauh dari permaisuri dan mertua, malu kalau mereka tahu saya menitikkan air mata.
          ”Saya harus di sini. Saya percaya.”
          Dua bulan kemudian, Senin, 30 Juli 2007 saya dan permaisuri sama-sama mengambil cuti. Kami pergi ke bank untuk menyepakati salah satu perjanjian penting dalam hidup kami. Kami dinyatakan sah dan resmi sebagai pemilik baru rumah itu. Alhamdulillah. Proses berbelit-belit dan lama yang sempat saya takutkan, ternyata tidak terjadi. Semua kebutuhan surat-surat penting, dengan sigap langsung dipenuhi pemilik rumah. Kendala-kendala yang dialami selama proses pembelian seperti dimudahkan. Setiap ada masalah, langsung ada solusinya. Luar biasa. Sepertinya semua pihak yang ada di sekitar kami turut membantu.
          Di tempat parkir motor di depan bank itu, kami masih tidak percaya bahwa kami punya rumah. Ya, rumah kami sendiri.
          ”Panda, kapan kita beres-beres?” Permaisuri saya seakan menggoda.
          ”Sekarang Panda antar aku ke kantor ya!”
          ”Lho, koq ngantor?” Tanya saya.
          ”Ih Panda, kita kan izinnya cuma setengah hari.”
          ”Waduh, aku lupa. Sekalian mampir ke rumah mama di Bukit Duri deh. Kasih tahu kabar menyenangkan ini.”
          Si Bohay saya jalankan susuri Kalimalang. Permaisuri memeluk erat dari belakang, erat sekali.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar