Sabtu, 22 Oktober 2011

Bersih Hati Di Jayagiri


Dalam akhir sebuah acara tentang pelantikan pendaki dan pecinta alam di televisi, lagu ini terdengar. Lagu dari Abah Iwan, lengkapnya Iwan Abdulrachman. Judulnya Melati Dari Jayagiri. Pikiran dan hati saya langsung tersambung, memanggil sebuah gambar yang terjadi beberapa tahun lalu. Daya visualisasi saya kembali menyajikan pemandangan nan indah Bandung Utara. Di visualisasi saya itu, saya tidak sendiri, saya bersama seseorang. Siapa ya? Saya perkuat visualisasinya, saya tambahkan warna, saya perkuat dengan suara angin semilir. Seseorang itu pun saya perjelas. Oh, seorang wanita! Masih muda, berambut panjang dan tubuhnya tinggi semampai. Yaahh pasti..!! Saya ingat!! Wanita itu yang dulu saya panggil dengan nama Euis.
Perkenalan kami terjadi karena saya ditugaskan meliput dan membuat tulisan mengenai kehidupan malam di Bandung. Awalnya, nyali saya ciut juga ketika mendapat tugas ini. Tapi, ketika itu saya berpikir, pasti ada manfaat dari tugas ini. Saya berharap, manfaat itu bukan sekedarnya saja. Saya ingin bermanfaat lebih, untuk saya, nara sumber dan siapa tahu orang-orang yang nanti membaca hasil liputan saya.
Siap dengan tantangan baru, esok malamnya saya sudah berada di sebuah pinggiran jalan di Bandung Utara. Menurut beberapa sumber, kawasan inilah yang banyak dijumpai penampakkan “selimut hidup”, begitu beberapa sumber memberikan istilah. Malam itu saya hanya mengamati, masih tidak berani menjalankan tugas. Yang ada di pikiran saya, saya hampiri beberapa ”selimut hidup” itu dan wawancarai langsung. Namun, ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. Nyali saya kembali ciut. Malam itu saya tutup dengan makan serabi, sambil berpikir keras bagaimana cara memulainya. Harap maklum, reporter pemula, masih bau kencur.
Sesampainya di kos saya hubungi seorang rekan yang ketika masih kuliah dulu, pernah membuat penulisan mendalam dengan topik yang sama. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Dari rekan ini saya memperoleh satu nama yang bisa saya temui dan wawancarai. Rekan itu juga sempat memberikan pesan agar berhati-hati, bukan karena banyak preman, tetapi karena si sumber ini berparas cantik. Duh, saya makin penasaran. Malam itu juga saya coba hubungi. Beberapa kali usaha tidak berhasil, mungkin sedang sibuk. Karena putus asa, saya putuskan untuk tidur. Saya akan coba esok hari atau mungkin esok malam. Batas waktu tugas ini lumayan lama, satu pekan, jadi masih ada waktu, pikir saya. Tak diduga, telepon genggam saya berbunyi tepat sebelum tengah malam. Nomornya tak asing, karena nomor itu yang saya hubungi beberapa jam sebelumnya. Di ujung telepon memperkenalkan Euis sebagai namanya. Saya sampaikan maksud dan tujuan saya menghubunginya. Ketika saya sebut nama kampus saya, ia langsung ingat dengan rekan saya yang dulu sempat mewawancarainya untuk tugas kuliah. Kami pun berjanji untuk bertemu esok malam.  
Pada pertemuan pertama, kami hanya bicara ngalor ngidul tidak karuan. Saya tidak langsung tancap gas mengarahkannya pada topik wawancara. Saya ingin mengetahui lebih dahulu tentang sosok Euis yang benar cantik adanya. Walaupun sebenarnya ia beberapa kali mencoba mengarahkan saya ke tujuan mengapa saya ingin bertemu dengannya, saya pura-pura cuek atau langsung mengalihkan ke hal lain. Pada satu kesempatan, Euis terlihat seperti sedang memandang sesuatu, namun tatapannya kosong. Dengan polosnya ia bersenandung. Hmm, saya tidak tahu lagu yang disenandungkannya sampai ia berhenti dan menoleh ke arah saya.
”Barusan lagu yang aku suka banget. Judulnya Melati Dari Jayagiri.” Katanya.
”Hmm, lagu tentang perjuangan?” Tanya saya.
”Perjuangan melawan hidup lebih tepatnya.”
”Maksud kamu?” Selidik saya.
”Perjuangan melawan hidup aku Ry. Menjadi seorang yang terbuang, sampah masyarakat istilahnya. Aku tidak pernah bercita-cita menjadi seperti ini.”
”Yap, aku mengerti. Pertanyaan aku, mengapa bisa jadi seperti ini?”
”Biasalah, terjebak asmara buta. Terlena pria tak bertanggung jawab, ditambah tuntutan hidup. Butuh duit Ry. Sumber duit sudah tidak ada lagi. Sedangkan kebutuhan hidup makin banyak. Uang kuliah juga perlu dibayar kan? Yang paling menyakitkan, pria itu juga sudah menyebarkan berita bahwa aku ini bisa dipakai. Keterusan deh.” Papar Euis sambil tersenyum kecut.
Selanjutnya kami lebih banyak bicara tentang makna-makna hidup dan kehidupan. Persepsi awal saya keliru, Euis tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Ia mengaku tetap melaksanakan kewajibannya sebagai manusia yang beragama. Ternyata benar adanya ungkapan bijak yang mengatakan, peta itu bukan gambaran sebenarnya. Perlu pencarian lebih lanjut. Termasuk persepsi kita tentang seseorang. Jangan pernah berasumsi mengenai seseorang. Karena asumsi-asumsi yang kita buat ibarat racun terhadap pikiran kita sendiri.
”Oh ya Ry, tadi kan kamu tanya Melati Dari Jayagiri, kapan-kapan mau gak temani aku ke sana.” Tanya Euis.
”Di mana tuh?”
”Ngga jauh koq dari sini, masih daerah Lembang koq.”
”Memang ada apa dengan lagu itu?” Tanya saya.
”Lagu itu ibarat pembersihan diri buat aku. Mendengarkan lagu itu benar-benar membuat aku mengerti hidup. Apalagi kalau mendengarkannya langsung di Jayagiri, bisa buat aku merinding sendiri. Kadang ya Ry, aku bisa berjam-jam berada di sana.”
”Ngapain?”
”Ya duduk ajah, merenung, mencoba memaknai apa yang aku lakukan selama ini. Aku sadar, yang aku kerjakan memang berdosa, tapi untuk saat ini, aku yakin Allah memaklumi.  Aku tidak melihat apakah ini benar atau salah, tapi pokoknya yang aku lakukan bermanfaat, setidaknya untuk aku dan mama.”
”Mama?”
”Iya Ry, aku anak satu-satunya. Dari hasil jerih payahku, aku bisa mengirim mama uang tiap bulan. Papa kan udah lama ngga ada. Nah, hal ini yang aku coba pertahankan, walaupun didapat dari kerja yang tidak halal.” Jelasnya.
Hmm, nilai positif seseorang dipertahankan secara konstan, sementara nilai dan kesesuaian perilaku internal dan atau eksternal yang harusnya dipertanyakan. Mungkin kalimat itu cocok untuk menggambarkan seorang Euis.  
Esok lusanya, pagi hari, kami sudah berada di salah satu sudut Jayagiri. Itu pertama kali saya ke sana. Udaranya masih dingin, meskipun waktu merambat menjelang siang.
”Ry, masih ingat yang kamu katakan tentang nilai positif itu?”
”Tentu, baru juga dua hari kemarin, hehehe...”
”Itu yang aku rasain. Aku ngga mau seperti ini terus. Yang pasti, ini semua karena aku, dan aku harus bertanggung jawab dengan jalan hidup yang aku pilih ini.”
”Bagus dong, niat kamu pasti didengar Allah. Lagipula, Allah kan Maha Mengetahui, pasti ada niat posistif dibalik setiap perilaku. Termasuk semua yang kamu lakukan.”
Mendengar itu, Euis tersenyum, senyuman termanis semenjak saya mengenalnya. Seperti yang dikatakan Abah Iwan dalam lagunya, ”Kau beri daku senyum kedamaian”. Ia tak sadar ketika beberapa saat saya tertegun menikmati senyumnya.
”Ry, di sini aku biasa membersihkan jiwa dan hati. Aku yakin, semuanya akan berakhir baik untuk aku dan mamaku. Semua orang pernah berbuat salah kan Ry?”
“Pasti, termasuk aku juga.” Jawab saya.
“Jadi, apa yang mau kamu tanyain Ry. Mulai dong wawancaranya.” Goda Euis sambil menyentuh bahu saya dengan bahunya.
”Hmm, sudah selesai koq. Ternyata tidak ada yang spesial dari kamu, hahaha...!” Canda saya.
”Lho koq? Enak ajah. Gini-gini tampang model mah ada dong. Emang kamu!” Ledeknya.
“Sssstt, jangan berisik. Kita nikmati saja sejuknya alam ini dulu. Aku juga kan pengen membersihkan hati. Di Jakarta ngga ada yang kaya gini nih.” Pinta saya bermanja.  
Kemudian ia membuka tasnya, mengeluarkan alat pemutar lagu. Kami duduk di tepian padang rerumputan. Larut dalam kesejukan udara Jayagiri. Suara Abah Iwan mulai terdengar melantunkan Melati Dari Jayagiri.

Melati... dari Jayagiri
Kuterawang keindahan kenangan
Hari hari lalu di mataku
Tatapan yang lembut dan penuh kasih

Kuingat... di malam itu
Kau beri daku senyum kedamaian
Hati yang teduh dalam dekapan
Dan kau biarkan kukecup bibirmu

Mentari kelak tenggelam
Gelap kan datang
Dingin mencekam

Harapanku bintang kan terang
Memberi sinar
Dalam hatiku

Kuingat... di malam itu
Kau beri daku senyum kedamaian
Mungkinkah akan tinggal kenangan
Jawabnya tertiup di angin lalu

Buat saya saat itu, Euis menjelma menjadi melati dalam lagu tersebut. Ia memang sedang dilanda kegelapan, tapi pasti harapan terang kan datang. Saya melihat harapan itu dalam dirinya. Saya kutip ucapan Abah Iwan sebelum mendendangkan lagu ini.
“Mungkin suatu waktu gelap kan datang, tetapi jangan putus harapan, berharap bintang kan terang memberi sinar di dalam hati kita.”
Teruntuk Euis di mana pun kini kamu berada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar