Jumat, 21 Oktober 2011

Gnothi Seauthon (Kenali Diri Sendiri)


Satu pagi, di hari kerja, seperti biasa saya menyeruput kopi selepas mentuntaskan semangkuk bubur ayam kantin. Pagi yang cerah. Hati meniatkan hari itu untuk lebih bermanfaat bagi orang lain. Selang beberapa menit setelah niat itu saya ucapkan dalam hati, telepon genggam bergetar, ada panggilan masuk.
          “Halo Pak, apa kabar?” Suara seorang sobat yang saya kenal dekat menyapa.
          ”Luar biasa dahsyat Pak! Ada apa nih?” Tanya saya.
          ”Ini lho Pak Ary, saya ada perlu, bisa ketemu siang ini?”
          ”Mungkin saya bisa pas jam makan siang nanti Pak.”
          ”Ya ndak apa-apa, sebelum jam makan siang saya datang, boleh Pak?”
          ”Silakan saja Pak.”
          Beberapa jam kemudian, sobat yang usianya mungkin dua kali usia saya ini benar-benar datang. Saya segera mencari tempat untuk kami berbicara. Setelah panjang lebar kami berdiskusi, sampailah ia ke topik permasalahan yang sebenarnya. Ia mengeluhkan kinerja timnya. Ia juga sedang dilanda masalah keluarganya. Saya mempersilakannya untuk sedikit menceritakan masalahnya itu.
          ”Begini Pak Ary, anak saya itu blablabla….”
          “Tim saya itu blablabla…”
          “Semua orang yang di sekitar saya selalu blablabla…”
          “Nah, ada lagi Pak Ary, menantu saya itu blablabla...”
          ”Saya punya beberapa cucu, saya ingin blablabla...”
          Sengaja saya tuliskan seperti itu, karena mungkin jika dipaparkan secara benar sama seperti apa yang diucapkan, beberapa halaman pun tak cukup. Ada saat saya bisa menyelipkan pertanyaan.
“Bapak sebagai tim leader, sudah tahu salahnya di mana?”
          “Ya itu tadi Pak Ary, anak saya, tim saya blablabla…”
          Hmm, saya mulai merasakan inti permasalahannya. Tanpa pikir panjang lagi, saya kembali menyelipkan pertanyaan, meskipun sobat saya tersebut masih berusaha menjelaskan panjang lebar.
          ”Pak, sudah kenal diri Bapak sendiri?”
          “Lho, maksudnya apa Pak Ary?”
          ”Sekarang Bapak diam, tarik nafas panjang, dan saya tanya sekali lagi. Bapak sudah mengenal diri Bapak sendiri?”
          Sobat saya terdiam. Cukup lama ia terdiam, sampai pada satu saat ia tertunduk dan mulai menitikkan air mata. Saya tinggal sebentar dan membiarkan ia sendirian. Beberapa menit saya kembali, saya hanya tersenyum.
          “Bagaimana Pak, sudah kenalan dengan diri sendirinya?” Tanya saya.
          Ia hanya mengangguk lalu undur diri.
          “Pak, terima kasih. Saya pamit dulu, ada hal penting yang harus segera saya lakukan. Yaitu...”
          Belum habis sobat ini bicara, saya tepuk bahunya.
          ”Pak, cukup. Saya tidak perlu tahu yang Bapak akan lakukan. Kalau itu ternyata adalah solusi dari permasalahan Bapak tadi, silahkan lakukan. Bukan saya yang menemukan solusinya, melainkan Bapak sendiri. Semoga bermanfaat ya Pak.”
          Kami berjabat tangan, erat sekali. Saya temani beliau sampai ke depan lift.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar