Jumat, 21 Oktober 2011

Nenekku Di Panti Itu


Pertengahan semester keenam saya kuliah di Jurnalistik, di ujung waktu kuliah penulisan, dosen menugaskan kami untuk membuat penulisan Pelaporan Mendalam (In depth reporting). “Wah berat nih,” pikir saya waktu itu. Sepeninggal dosen, seluruh kelas riuh rendah. Jurusan Jurnalistik Angkatan 98 ini, meski jumlah mahasiswanya hanya puluhan, tapi yang namanya bikin onar dan biang keributan, kita jagonya, hehehe…
Jadilah siang itu kelas tambahan dadakan. Diskusi kecil muncul di sudut-sudut kelas, bahkan ada yang melanjutkan ke kantin, lapangan, koridor dan di ruang himpunan. Semuanya membicarakan topik apa yang akan diangkat untuk disajikan dalam penulisan nanti. Untuk dosen yang ini, entah mengapa, setiap penugasan yang diberikannya secara otomatis memunculkan persaingan sehat bagi kami untuk menyajikan yang terbaik. Ya setidaknya bisa dapat nilai A. Nilai A dari dosen yang satu ini katanya, katanya lho, dapat meningkatkan kredibilitas sebagai seorang mahasiswa jurnalistik.
“Tidak mudah dan tidak sembarangan deh dapat nilai A dari si Bapak. Apalagi mata kuliah penulisan. Tahu kan kredibilitasnya sebagai penulis? Kalau beliau ikut lomba menulis, seakan-akan tidak ada penulis lain yang ikutan, beliau juara melulu,” tutur seorang senior.
Saya bertanya dalam hati, topik apa yang asyik ya? Politik, ekonomi, sosial, prostitusi atau apa? Bisikan nyeleneh mampir tiba-tiba. “Cari yang unik, dan tidak seperti kebanyakan,” begitu kira-kira katanya.
Dua hari kemudian, pagi hari, saya sudah berdiri di depan rumah panti jompo di daerah Buah Batu. Saya sudah menyampaikan maksud dan tujuan ke panti ini sebelumnya. Oleh Ibu Ketua Yayasan, saya dijanjikan wawancara eksklusif dengan seorang nenek.
“Tenang aja nak Ary, nenek yang ini pintar bicara, agak sedikit nyentrik, pokoknya gaul deh,” katanya.  
Saya diterima di sebuah ruangan, dengan beberapa sofa empuk berwarna lembut. Satu televisi 21 inchi persis di depan saya, dalam kondisi menyala. Di salah satu sudut tersedia kursi roda. Di dekatnya ada kamar yang perlahan pintunya terbuka. Seorang nenek keluar sambil tersenyum.
“Ini Cep Ary?”
“Iya Nek,” saya jawab dan langsung menyambutnya dengan cium tangan.
Eleuuh.. Meuni kasep pisan (Aduuh.. Tampan ya).” Saya hanya senyum dibilang tampan, jarang jarang sih, hehehe...
Obrolan berlangsung menyenangkan, meski saya yang harus lebih mendengarkan. Kami saling tertawa, saling melempar cerita-cerita lucu.
”Ternyata ’orang dulu’ punya cerita lucu juga,” canda saya. Nenek malah makin tertawa lepas.
”Kan saya juga pernah muda Cep Ary! Hahaha!”
Suasana berubah menjadi serius saat saya menanyakan alasan mengapa beliau sampai ada di sini, di panti ini. Mimik wajahnya seketika berubah, lebih serius, namun beberapa saat kemudian nenek kembali tersenyum.
”Saya di sini ngga akan lama lagi koq Cep Ary.”
Kaget juga saya mendengar jawabannya.
”Maksud Nenek?”
”Oh, bukan itu maksud saya, hehehe... Tidak lama lagi saya dijemput keponakan dari Jakarta.”
”Ooh, hahaha... Syukurlah Nek. Saya turut senang mendengarnya. Kapan tepatnya?”
”Terakhir memberi kabar, keponakan saya berjanji, mungkin dua atau tiga minggu lagi.”
”Nenek senang dong?” Tanya saya.
”Iya. Tapi di balik rasa senang, saya masih tidak habis pikir, mengapa anak kandung saya menitipkan saya di sini.” Raut wajahnya kembali berubah, matanya mulai berkaca-kaca.
”Tapi pikiran jelek terhadap anak saya sudah saya buang koq Cep Ary. Harapan saya sekarang kepada keponakan saya. Ia sudah saya anggap sebagai anak kandung sendiri. Saya ingin tinggal bersama ia dan keluarganya di Jakarta. Anaknya sudah dua, berarti, itu cucu saya juga kan? Saya sayang mereka.”
Luar biasa pengharapan dan ketegaran nenek ini. Beberapa saat kemudian saya berpamitan. Saya berjanji untuk sering mampir atau setidaknya menelepon menanyakan kabar si nenek. Tentunya saya juga berharap, nenek segera dijemput, untuk kembali merasakan nikmatnya kasih sayang keluarga yang sempat hilang darinya.
Sebulan kemudian saya hubungi panti jompo itu. Kabar yang saya dapatkan, si nenek sedang terbaring sakit dan tidak bisa diganggu. Selang beberapa hari saya hubungi kembali, si nenek masih terbaring sakit. Sebulan kemudian, saya hubungi lagi. Saat itulah, kali pertama sebagai mahasiswa, saya menangis. Suara di ujung telepon mengabarkan si nenek sudah tidak ada. Seminggu sebelum saya menelepon. Innalillahi wa innailaihi rojiun..
Saya tanyakan pula apakah keponakannya jadi menjemput. Anda tahu penjelasan yang saya terima? Cukup menggetarkan saya.  Keponakannya menelepon, mengabarkan bahwa batal untuk menjemputnya. Dan Anda tahu yang lebih mencengangkan saya? Sebenarnya kabar dari keponakannya itu didapat sebelum saya melakukan wawancara eksklusif dengan nenek. Jadi, beliau berbohong? Saya buang jauh-jauh pikiran itu. Nenek tidak mungkin berbohong. Ia membuat realita bagi dirinya sendiri. Realita yang membuatnya senang, sederhana memang. Baginya, janji itu adalah harapan. Harapan yang membuatnya tetap ceria dan mau menerima saya waktu itu. Harapan itu pula yang membuatnya bertahan, meski tak lama. Selamat jalan Nek, saya berterima kasih atas pelajaran hidup yang Nenek berikan. Semoga Nenek dapat tempat terbaik bersama-Nya.
Kawan, hati-hati ketika Anda berjanji, bagi sebagian orang, janji bukanlah hutang, melainkan harapan. Oh ya, untuk mata kuliah ini, saya dapat nilai B. Ah tak penting nilai ini, saya dapat nilai lebih justru dari proses penulisan yang saya jalani. Nilai terpenting adalah, saya bisa menuliskannya di buku ini dan semoga bermanfaat untuk Anda.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar