Jumat, 21 Oktober 2011

Bapak Minyak Angin


Segala jenis transportasi darat Jakarta – Bandung pernah saya naiki. Dari yang murah sampai yang mahal. Dari yang kursi penumpangnya nyaman bak raja sampai kursi darurat (jengkok) di sebelah sopir, semuanya sebisa mungkin saya nikmati. Di balik kenikmatan dan kesengsaraan selama perjalanan, saya selalu menarik hal-hal unik dan dinamika yang terjadi.
Seperti yang terjadi ketika saya naik satu bus ekonomi Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) jurusan Garut. Ciri khas bus ekonomi, kalau belum sumpek ya belum jalan, terpaksa berdiri. Selepas Ciawi, beberapa penumpang yang duduk di kursi belakang turun, memberi saya kesempatan menduduki satu kursi kosong yang tersedia. Di kiri saya seorang bapak dengan wangi minyak angin menyengat. Di kanan, seorang perempuan paruh baya memangku anak kecil yang kedua kakinya bertumpu di paha saya. Posisi yang ideal untuk menikmati perjalanan bukan?
Indahnya menikmati bus ekonomi adalah saya bisa melihat berbagai ekspresi yang berbeda-beda dari wajah para penumpang. Termasuk saat penjual buah mangga yang nekad naik dengan memanggul sekarung dagangannya. Sekilas nampak ranum sih, sekilas lho ya. Dengan percaya diri, si penjual mangga mulai bergerilya. Karung ditinggalkan di dekat pintu belakang sedangkan dirinya meliuk-liuk di antara kepadatan penumpang.
”Mangga baru panen, masih seger! Saya kasih sepuluh biji hanya dua puluh ribu saja!” katanya berulang-ulang. Sampai beberapa menit kemudian, belum ada satu penumpang pun yang tertarik. Kalimat penjualannya mulai berubah.
”Kalo sepuluh biji masih kurang, iya deh, saya tambahin. Saya kasih dua belas biji, hanya dengan dua puluh ribu! Mumpung baru panen, dikasih termurah!” teriaknya. Strategi menjualnya juga berubah. Setelah beberapa kalimat teriakannya terdengar, ia mulai menghampiri penumpang-penumpang yang mungkin memasang mimik wajah tertarik, atau setidaknya yang memperhatikannya. Tapi, ya itu, tetap tidak ada penumpang yang tertarik atau sedikitnya menawar.
Mulai merasa tidak ditanggapi, nada dan intonasi si penjual itu mulai berubah. Ada aroma kekesalan di teriakan berikutnya.
”Aduuh, masa satu bus nggak ada yang mau sih? Ini mangga enak lho, dijamin manis. Kalo nggak manis silahkan balikin lagi ke saya! Mau berapa biji sih? Hayo lah, dua puluh ribu saya kasih dua puluh biji! Mana ada penjual yang harga satu mangga seribu. Saya mah ikhlas! Kalo nggak ada yang mau kebangetan nih!”
”Tuh, udah murah, ikhlas seikhlas-ikhlasnya deh!” Si penjual makin menegaskan. Tak sengaja saya melirik Bapak minyak angin di sebelah saya tersenyum simpul.
”Bapak mau beli?” Tanya saya.
”Ah nggak koq Mas. Cuma kaget aja si tukang buah itu pake bawa-bawa kata ikhlas.”
”Lho, memangnya kenapa Pak?” Tanya saya.  
”Ya itu, kata guru ngaji saya, satu-satunya kata yang sebaiknya tidak terucapkan ketika kita berbuat apapun, terutama kebaikan, ya kata ikhlas itu.”
”Tahunya kita berbuat kebaikan gimana Pak?” Saya makin tertarik, maklum kuliah Jurnalistik membuat saya makin bawel jika bicara dengan orang lain.
”Itu urusan Gusti Allah. Hanya Gusti Allah yang tahu. Sebagai manusia, kita hanya melihat manfaatnya. Kalau baik manfaatnya, anggaplah itu kebaikan. Iya kan?”
”Lha, kalau jelek?”
”Ya jangan diulangi, mudah kan? Hehehe...”  
”Kembali ke ikhlas tadi, hanya Gusti Allah yang tahu, begitu maksud Bapak?” Lanjut saya.
Sebelum menjawab, ia mengucurkan lagi minyak angin di lehernya. Makin mantap aja deh wanginya.  
”Kata guru ngaji saya sih begitu. Ikhlas itu mutlak dan pasti diketahui Gusti Allah, tidak perlu digembor-gemborkan. Cukup diyakini saja kalau memang ikhlas.”
Saya langsung timpali, ”Kalau sudah terucap mulut dan bilang ke orang lain?”
”Keikhlasannya dipertanyakan, atau bahkan jangan-jangan tidak ikhlas sama sekali. Bisa jadi Ikhlasnya hanya jadi ujung tombak untuk mencapai keinginan. Ya contohnya penjual mangga itu, pakai kata ikhlas sebagai ujung tombak bahasa menjualnya.”
”Terima kasih Pak, saya belajar sesuatu dari Bapak. Tapi Bapak ikhlas kan berbagi sama saya tadi?” Pancing saya. Bapak minyak angin hanya tersenyum simpul. Persis seperti senyum yang pertama menggugah saya untuk memulai percakapan.
”Mas.. Mas, dua puluh ribu saya lebihin lima biji, jadi dua puluh lima biji. Mau?” Lhaa, penjual mangga sudah berdiri di hadapan saya, sambil membungkuk membisikkan tawarannya. Saya hanya cengar cengir nggak jelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar