Jumat, 21 Oktober 2011

Si Pencot


“Hai kenalin, ini teman gue, Pencot namanya.” Pertama kali saya mengenalkan seorang sobat kepada gadis pujaannya.
“Hah? Pencot? Gue Ayu.” Gadis itu terheran mendengar namanya.
“Bukan! Bukan! Maaf, nama gue Hendri.” Sobat saya menyelak.
“Iya, maksud teman gue ini, namanya Hendri Pencot,” selak saya sambil tertawa.
“Sial lo Ry,” beberapa kali Pencot menjitak kepala saya.
Namanya memang hanya satu kata, Hendri, sobat karib saya di Sekolah Menengah Umum (SMU). Tapi mengapa dipanggil Pencot? Ia pernah mengisahkan, nama itu ia peroleh saat di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Nama Pencot dipilih oleh teman-temannya ketika itu karena cara berjalannya yang tidak lazim.
“Cara jalan gue dibilang ngga seimbang gitu deh Ry, jadi kaya kaki gue panjang sebelah, padahal kagak. Ditambah sekarang gue ikutan tae kwon do, makin pas deh sebutan itu,” begitulah pemaparan Pencot waktu itu.
“Lho, ada apa dengan tae kwon do? Gue juga ikutan tapi nggak pencot kan kaki gue?” Goda saya.
“Lo sih bukan kaki yang pencot, otak lo tuh yang pengkor!” Balasnya.
Selama dua tahun dekat dengannya, banyak pelajaran yang saya dapat. Dari Pencot sebagai seorang individu, sebagai seorang teman, dan sebagai ketua organisasi. Saya melihat ada sesuatu dalam dirinya yang unik. Saya masih sungkan untuk menanyakannya. Sampai ketika kami mengadakan pelantikan tae kwon do untuk anggota baru. Ada senior yang menghinanya di depan teman-teman yang lain. Saya sempat naik pitam waktu itu, namun ditahan teman saya yang lain. Sampai saya sendiri kesal punya sobat kaya Pencot, kenapa tidak dilawan sih? Pasrah dipermalukan di depan orang banyak.
Hampir tengah malam saya baru bisa bicara berdua lagi dengan sobat saya itu. Kami menghindar dari keramaian, memilih tempat di pinggir sungai dengan suara gemercik air yang cukup keras. Tujuannya, agar ketika ada orang yang mendekat tidak terlalu mendengar jelas percakapan kami.
”Cot, kenapa ngga lo lawan aja tuh senior?”
”Buat apa Ry?
”Lo takut, karena dia senior?” Saya tunjuk dia dengan jari telunjuk saya.
”Nggak lah. Senior bukan untuk ditakuti. Untuk dirangkul.” Tangkisnya.
”Cot, kalaupun tadi lo lawan juga, teman-teman siap bantu.”
”Dibantu ngapain? Berantem? Halah, kita memang di acara bela diri. Tapi bela diri juga bisa berfungsi ketika kita memutuskan untuk mampu menahan emosi dan bersabar. Sebagai ketua tae kwon do gue harus bisa memposisikan gue di posisi senior dong Ry. Biar gue bisa lebih mengerti mereka. Mending lo sekarang bantu gue aja ngurusin acara ini.” Jelasnya.
”Maksud lo, gue nggak ngerti. Ngapain lo di posisi mereka?”
“Ya untuk lebih memahami dan mengerti perilaku para senior. Tolong lo pisahkan antara niat dan perilaku. Pasti ada niat positif di balik perilaku tuh senior tadi.”
“Cot, kenapa sih dari dulu, gue nggak pernah lihat lo marah?”
“Hah, yang boneng lo? Gue sering marah, apalagi sama elo. Tapi gue memilih untuk nggak ditunjukkin kemarahan gue itu.”
“Wiih, hebat lo. Gimana caranya?”
“Gampang.”
“Plaaaakkkk!” Sebuah tamparan mampir ke wajah sebelah kiri saya. Telinga kiri langsung berdenging keras.
“Waduh, kampret lo! Buat apaan tuh tamparan?”
”Lo mau marah Ry?”
”Iya lah!”
”Nah, lo tahan. Tarik nafas sambil lihat gue. Tanyain diri lo sendiri, kenapa gue bisa sampai tampar elo. Coba lo posisikan sebagai gue. Coba lo jadi gue.”
          Sepersekian detik, saya terdiam. Mungkin sebenarnya sobat saya ini sudah kesal sejak tadi karena saya yang terlalu banyak ngomong. Saya bisa merasakan bagaimana sabarnya Pencot punya teman seperti saya. Berisik, ceroboh dan suka tidak berpikir sebelum bertindak.  
 ”Woi, monyong! Kenapa jadi bengong lo!” Teriakan Pencot menyadarkan saya.
”Nah Ry, itu cara gue meredam amarah. Dengan bertanya pada diri sendiri, kenapa ada yang marah sama gue? Hal apa yang buat mereka marah terhadap gue? Jadi bukan gue langsung balas dengan emosi juga. Bisa ribet urusannya. Gue memilih untuk tidak melawan bukan karena gue takut. Tapi gue merasa itu pilihan terbaik. Lo lihat, sampai sekarang, acara berjalan dengan lancar kan? Coba kalo ada acara ribut segala, bisa-bisa kita dipulangkan tengah malam. Ingat lho, ada guru yang ikutan dan mengawasi acara ini.”
”Iya Cot, gue ngerti. Dimaafkan dong sobat lo yang super keren ini. Gue bantuin deh pendekatan ke Ayu.” Canda saya.
Selanjutnya, yang saya ingat, Pencot mendaratkan beberapa kali jitakannya ke kepala saya. Bagus katanya, buat meluruskan otak saya yang pengkor katanya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar