Sabtu, 22 Oktober 2011

Antara Saya, Mamat dan Lontong Kari


Sengaja saya putar musik tradisional kacapi suling ketika menuangkan tulisan ini, untuk memudahkan saya memvisualisasikan masa dimana saya masih berstatus mahasiswa yang kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di belahan Bandung coret sana, Jatinangor. Jatinangor, daerah kecil yang berkembang menjadi pusat kampus yang dihuni ribuan mahasiswa dengan berbagai harapan. Saya salah satunya. Mahasiswa yang tidak mau berlama-lama di daerah itu. Jauh dari mana-mana dan bisa dikatakan tidak ada hiburan. Mungkin hiburannya mahasiswa adalah ya mahasiswa lain atau komputer, bagi yang mampu. Untuk mahasiswa pas pasan seperti saya, boro-boro komputer, radio saja baru dibeliin mama setelah saya beberapa bulan berada di sana. Jadi, nikmati saja.
Tahun pertama berjalan datar dan membosankan. Bayangkan, dalam setahun, setiap akhir pekan saya pasti ada di Jakarta. Jatinangor? Membosankan. Saya seperti tidak punya kehidupan selain kuliah, kuliah dan kuliah. Di tahun itu saya dilanda penyakit rindu pulang tingkat akut. Setiap Jumat saya bergegas kembali ke Ibukota. Kemudian setiap Senin, ya Senin siang atau sore saya berlambat-lambat kembali ke Jatinangor. Padahal, Senin adalah hari padat kuliah. Ada dua mata kuliah dasar yang harus saya ikuti. Tapi penyakit rindu pulang mengalahkan kewajiban saya itu. Mulai muncul protes dari mama akibat penyakit saya itu. Iyalah, uang jatah seminggu, hampir termakan setengahnya untuk ongkos pulang pergi Jakarta – Jatinangor.
”Dibetahin dong! Kan yang memilih untuk kuliah di sana Ai sendiri. Siapa suruh ngga milih kampus negeri yang di Depok.” Omelan mama ketika itu.
Di tahun kedua saya mulai lebih menahan untuk tidak pulang. Saya mulai menyadari, biaya hidup saya di Jatinangor tidak murah. Saya harus berhemat, dan cara paling efektif dalam rangka penghematan adalah tidak pulang. Tiap akhir pekan, beberapa teman di sana mengajak saya jalan-jalan ke Bandung. Tapi saya tidak pernah berminat. Selain jaraknya cukup jauh dan memakan waktu, saya tidak melihat ada keperluan penting yang membuat saya harus ikut. Selain itu saya juga tidak yakin bisa menikmati. Padahal, sebenarnya sih, saya tidak mau keuangan menipis, hehehe...
Satu pagi, tidak bergegas menuju ruang kuliah, saya bermain bola sesempatnya. Tepukan di pundak sedikit mengagetkan saya.
”Akang yang namanya Ary Wayank kan?” Mamat lontong kari berdiri di sebelah sambil cengar cengir.
”Wah, tahu dari mana lo Mat?”
“Itu saya dikasih tahu sama Amel anak angkatan baru, katanya kenal sama akang.”
“Terus, ada perlu apa ya Mat?” Tanya saya.
“Itu kang, ada yang nyariin, katanya bapaknya akang.”
Perkenalan kami itu merupakan awal kedekatan saya dengan Mamat. Apalagi saya termasuk pelanggan setianya, mengisi perut dengan lontong karinya. Setiap ke kampus, saya selalu laporan dulu ke Mamat, setidaknya setor muka di depannya. Caranya, hmm, bisa dibilang kurang ajar sih. Saya kebiasaan mengambil kerupuk lontong karinya. Itu lho, kerupuk warna merah yang biasa untuk gado-gado juga. Yang paling berkesan adalah, beberapa kali saya menggantikannya untuk melayani pembeli. Atau jika pembelinya ramai, saya bantu ia semampu saya. Membelah lontongnya, mengaduk sayur karinya atau sekedar mengganggunya untuk tetap semangat, hahaha... Sayanya juga semangat. Semangat nyetol kerupuknya. Kelamaan, saya seperti Mamat kedua. Apa pun yang Mamat lakukan ketika melayani pembeli, saya tiru. Kalau istilah kerennya sih, matching mirroring, menyamakan tingkah laku untuk keefektifan sebuah komunikasi. Dan, ternyata, cara saya itu berhasil.
”Ry, maneh mah kaya asisten saya saja.”
          Tertawa saya mendengar Mamat mengucapkan kalimat itu. Saya katakan kepadanya, setiap orang memiliki sumber daya  yang dibutuhkan, dan bisa memperolehnya.
          ”Mat, kalau saya mau jadi tukang lontong kari kaya lo, ya gue harus mengeluarkan sumber daya gue buat belajar dong. Dan yang paling mahir di sini siapa lagi kalau bukan lo. Nah, dalam perlontong karian, lo guru gue Mat.”
Ucapan Mamat beberapa kali terbukti. Beberapa mahasiswa baru mengira saya asistennya. Memesan lontong kari ke saya. Apakah karena saya sering terlihat berdua Mamat di dekat gerobaknya? Entahlah. Yang pasti, kadang saya menikmati momen-momen itu. Mungkin memang tampang kami mirip, atau saya ada potongan menjadi tukang lontong kari, hehehe...
          Banyak hal yang kami diskusikan di waktu-waktu berikutnya. Topik yang didiskusikan sangat beragam. Mulai dari ilmu lontong kari, sejarah Mamat, sejarah saya, keluarga Mamat, keluarga saya, politik, ekonomi, sosial sampai topik yang paling terpenting bagi kami berdua, mahasiswi yang manis-manis tentunya, hahahah... Tempat berdiskusi tidak melulu di kampus. Di kosan saya, di lapangan bola, bahkan pernah saya sempatkan ke rumahnya. Tidak jauh dari rumah kontrakan saya dan teman-teman seperjuangan. Mungkin saya satu-satunya mahasiswa yang pernah menyambangi rumahnya. Tidak terlalu besar, namun kesan damai terpancar. Di tepi sawah, di belakang terdapat sungai yang airnya jernih dan suara gemericiknya melebihi menyejukkan. Memancing saya untuk setidaknya menyemplungkan kedua kaki dan membasuh wajah. Ketika sama-sama nongkrong di pinggir sungai kecil itu, saya sempatkan bertanya, mengapa bisa sampai mau bicara tentang segala hal ke saya. Jawabannya ketika itu adalah, karena ia merasa nyaman bicara dengan saya. Menurutnya, saya tidak membedakannya dari siapa pun. Ia merasa sejajar ketika bicara dengan saya, tidak ada perbedaan antara mahasiswa dan seorang tukang lontong kari. Inikah hasil dari yang namanya komunikasi efektif? Saya pastikan iya. Masalahnya, ketika itu saya tidak mengetahui proses ini sebenarnya proses apa. Yang saya tahu adalah, saya berusaha mengenal dekat seorang Mamat dengan cara yang saya tahu.
Di saat saya dinyatakan lulus oleh kampus, dan semua berkas kelulusan sudah selesai, orang pertama yang saya temui di kampus adalah Mamat. Saya ucapkan terima kasih atas keramahan dan ilmunya selama ini. Menjadi teman yang tidak pernah mengeluhkan apa pun kenakalan saya terhadap dirinya, gerobak dan lontong karinya. Jabat tangan erat kami menandakan, kami akan segera berpisah. Saya akan kembali ke Jakarta, dan Mamat, akan tetap berjualan di kampus ini pastinya. Ia sempat mengatakan, semoga ada mahasiswa seperti saya, yang bisa dekat dengannya dan menjadi sobat, bukan sekedar pertemanan antara seorang mahasiswa dan tukang lontong kari. Saya peluk dia sebagai tanda persahabatan.
”Mat, jangan sungkan untuk mencari murid-murid yang lain ya. Ajari mereka berkomunikasi, jadikan mereka sobat-sobat lo. Entah kapan gue balik lagi ke kampus ini. Tapi, satu hal yang pasti, kalau gue ke sini, lo pasti sudah tahu orang yang pertama gue temuin.”
Mamat hanya anggukkan kepala. Saya sendiri, berjalan keluar kampus ditemani seseorang yang dekat dengan saya waktu itu.
”Ry..!! Tenang aja, pacar lo nanti gue jagain..!!” Terdengar Mamat berteriak.
”Hahaha, siap Mat, percaya deh gue sama lo..!!” Jawab saya juga dengan berteriak sambil mengacungkan jempol untuknya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar