Sabtu, 22 Oktober 2011

Hari Silent Sedunia


Tulisan ini saya buat sambil tersenyum mengingat seorang sobat di kantor saya yang lama. Seorang sobat yang memiliki keunikan dibanding sobat-sobat yang lain di perusahaan itu. Beberapa teman mengatakan, sobat unik tersebut menjadi seperti sekarang karena andil saya ketika masih di perusahaan itu.
Sebut saja Kisut, seorang desain grafis jebolan kampus ternama di Bandung. Awal perkenalan saya dengannya bukan karena salah satu dari kami yang menghampiri, tapi karena pekerjaan. Dunia elearning mengharuskan satu pekerjaan dikeroyok oleh beberapa orang yang memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Saat itu, saya adalah seorang content writer dan Kisut harus mendampingi saya untuk membuat sketsa modul elearning. Pekerjaan ini tidak hanya membutuhkan keahlian berimajinasi mengenai materi, tetapi juga kemampuan untuk berinteraksi dengan rekan satu tim.
Pada rapat tim pertama kali, saya sudah mulai melihat keunikannya. Sobat saya ini seorang yang tidak banyak bicara. Malah, kalau bisa, ia tidak perlu bicara dan ia mengaku akan mengerti dan menjalankan apapun hasil keputusan rapat. Saya pikir, ajaib juga ini orang. Punya tingkat berpikir dan pemahaman melebihi rata-ratakah? Pada satu kesempatan, di suatu siang, saya dengan santai mengajaknya makan siang. Satu jawaban terlontar dari mulutnya, jawaban yang cukup membuat saya tercengang. Mengapa? Karena memang belum pernah ada orang yang menjawab dengan kalimat seperti yang ia sampaikan.
“Gak ah Ry, saya lagi malas menyapa dan disapa orang!”
Kalimat penolakan seperti apa itu? Terus terang seumur hidup, saya belum pernah mendengar kalimat sejenis dari siapa pun yang saya kenal, kecuali makhluk hidup di depan saya itu.
“Yakin Ki?” Tanya saya.
Ia tidak menjawab, hanya memandangi saya dengan tatapan normal, tanpa senyum atau cemberut, hanya datar. Bagi saya, itu pertanda agar saya cepat-cepat minggat dari hadapannya. Dalam sepersekian detik saya balik badan dan segera menjauh dari dia dan segala keunikannya siang itu. Saya tidak sakit hati dengan penolakannya, tidak ada orang yang resisten, mungkin pendekatan yang saya lakukan tidak sesuai. Penolakan adalah tanda bahwa saya harus mengganti pendekatan, saya harus lebih fleksibel. Di warung nasi, saya menjumpai beberapa rekan. Ah, langsung saja saya bergabung dengan memesan menu santap siang sebelumya.
“Ry, gimana kesannya?” Seorang teman bernama Rani bertanya.
“Kesan apa tuh Ran?” Saya tanya balik.
“Bekerja sama dengan seorang yang sempurna macam Kisut.”
“Oh itu maksud lo Ran. Hmm, menyenangkan.” Saya menjawab sekenanya.
“Hah! Yang bener lo Ry? Menyenangkan? Hahaha! Bisa lebih spesifik? Gue sih harus memahami karakternya lebih jauh untuk bisa lancar bekerja sama. Tujuannya untuk mengantisipasi sakit hati jika ada beberapa kelakuannya yang bisa bikin gue sebel.” Jelas Rani.
“Kenapa bisa begitu?” Selidik saya.
“Gini Ry.” Rani berusaha menjelaskan dengan mulut yang tetap sibuk mengunyah ayam goreng.
“Pernah, waktu gue lagi review modul, gue dibikin kesel bin gondok sama dia. Kan modul itu harus jadi hari itu juga karena besoknya direview klien. Tapi, dengan elegannya, tepat pukul lima sore, dia beranjak begitu saja dari samping gue sambil izin pulang. Kalimat yang dia bilang waktu itu sih sederhana banget, tapi nyelekit.”
“Apa tuh?” Tanya saya sambil tak mau kalah, ikut mengunyah sambal goreng usus ayam kegemaran saya.
“Iya, dia bilang kalau jam lima itu waktunya pulang, karena menurutnya, dia dibayar untuk bekerja hanya sampai jam lima.”
“Hahahaha!” Serentak kami berdua tertawa. Untung saja tidak ada remah-remah yang ikut keluar seiring gelak tawa kami.
Beberapa hari setelah percakapan dengan Rani, lebih banyak lagi informasi dan kejadian-kejadian unik seputar Kisut. Ada yang menerimanya sebagai bagian dari dinamika dalam bekerja, ada pula yang akhirnya memilih untuk tidak bekerja sama dengannya. Nah, saya termasuk memilih yang pertama. Namun, saya tidak hanya menganggapnya sebagai bagian dari dinamika pekerjaan yang menyenangkan itu, tetapi saya juga memposisikannya sebagai rekan kerja yang menantang. Saya percaya, setiap orang memiliki model dunianya masing-masing. Pun demikian, saya juga memiliki model dunia saya sendiri. Untuk bisa memahami seseorang seperti Kisut, saya harus masuk ke dalam dunianya. Pernah ada yang mengatakan, sobat saya itu pendiamnya setengah mati. Bahkan ada juga yang pernah mengatakan, buat Kisut, semua hari adalah “Hari Silent Sedunia”. Wah, pelabelan macam apa itu? Saya pikir, memilih untuk menjadi pendiam adalah pilihan terbaiknya. Tapi, sekali lagi saya berpikir, julukan pendiam itu dari siapa dan pendiam seperti apa? Apakah hanya karena ia berkomunikasi untuk hal-hal yang memang dianggapnya penting saja itu termasuk tingkah laku seorang pendiam? Saya rasa tidak. Saya yakin, sobat saya ini memiliki potensi manfaat yang luar biasa bagi orang lain, termasuk saya. Mungkin, selama ini, kami kurang memahami ia dan model dunianya. Yang diperlukan hanya ada seseorang yang menarik agar ia sedikit mengeluarkan dirinya dari dunianya, untuk lebih menyapa semua yang berada di luar dunianya. Menarik ini menarik.
Pada satu akhir minggu, menghilangkan kepenatan,  beranjak dari pembaringan, memacu motor menuju sebuah pusat perbelanjaan. Ketika celingak celinguk di sela keramaian, mata saya menangkap sosok yang tidak asing, Kisut.
“Ki, ngapain di sini?” Tanya saya ketika menghampirinya.
“Eh kamu Ry. Saya lagi lihat-lihat film, maklum anak kos, cari hiburan.” Jawabnya.
“Kos dekat sini?”
“Iya.”
“Boleh dong mampir.” Ucapan itu begitu saja keluar. Entah apa pikiran saya waktu itu, yang pasti, saya tidak mengharapkan keiyaan darinya.
“Hayuk atuh.” Dengan logat Sunda kentalnya, ia memberikan persetujuan. Lampu hijau mulai menyala. Ya, lampu hijau yang menandakan bahwa sebenarnya sobat saya ini bukan seorang yang mutlak pendiam dan tidak butuh orang lain. Sebagai seorang yang lima tahun berkutat dengan ilmu komunikasi, saya percaya, kita tidak bisa tidak berkomunikasi. Semua orang butuh komunikasi, tanpa terkecuali. Nah, komunikasi saya dengan Kisut mulai memasuki tahap yang lebih dari sebelumnya. Makna komunikasi sesungguhnya terletak pada respon yang didapat. Sobat saya ini sudah memberikan respon, respon positif tentunya. Saatnya saya masuk ke dan mengarungi model dunianya. Saatnya pula saya sedikit bercermin darinya dan melihat apakah ia akan merespon seperti yang saya harapkan.
Memasuki kamar kos yang tidak luas dan berantakan, kami berdua tertawa bersamaan. Canda demi canda mewarnai awal langkah pertemanan. Tentunya candaan yang bukan sembarangan candaan. Dengan seorang Kisut, saya harus bisa memilih canda yang pintar, bukan sekedar canda yang bertujuan menghasilkan tawa, melainkan candaan yang memerlukan pemikiran untuk menghasilkan tawa. Sempat saya berpikir, Kisut adalah cerminan dari pemikir, idealis, kreatif sekaligus kritis. Bicaranya yang ceplas ceplos namun berisi, menguatkan asumsi saya itu.  
Hari masih belum siang, saya belum berencana untuk terburu-buru mengakhiri momen itu. Dan terlihat, Kisut pun seperti tidak keberatan saya berada di sana. Di mulai dari hari itulah kedekatan kami terjalin, kedekatan pertemanan yang saling membutuhkan, bukan pertemanan yang bertopeng rekan kerja.
Hari berlalu, seiring waktu berjalan, Kisut mulai berubah, terutama di kantor. Ia mulai lebih terbuka terhadap orang lain. Sering memulai percakapan dengan siapa saja. Sering juga Kisut menghampiri meja kerja saya dan mengajak makan siang. Suatu hal yang tidak mungkin terlihat beberapa bulan sebelumnya. Saya tidak mengatakan itu adalah karena andil saya, meskipun beberapa rekan berpendapat seperti itu. Seiring dengan perubahannya, makin terlihat potensinya sebagai seorang yang memang berkualitas, dalam pekerjaan dan pertemanan. Kalau boleh saya katakan, semua orang di bagian kami menyukainya. Ketika saya memutuskan untuk berhenti bekerja di perusahaan itu, dan orang pertama yang mengetahui saya akan pergi dan mengapa saya pergi adalah Kisut. Ada ucapannya yang sampai sekarang terngiang-ngiang di pikiran saya.
“Bagus man! Saya dukung penuh. Kamu berpotensi menjadi seseorang yang bermanfaat. Saya yakin, di manapun kamu bekerja, kamu akan bisa berperan penting. Kamu akan berwarna dan mampu menyenangkan siapa saja tanpa kamu berniat untuk menyenangkan. Hebat euy, saya salut!”
Seingat saya, kami sama-sama tersenyum waktu itu.
Belum lama, sebelum saya menuangkan tulisan ini, saya membaca pernyataan darinya di sebuah situs pertemanan. Ia mengungkapkan cinta kepada seorang teman yang saya kenal juga, mereka bekerja di tempat yang sama, kantor saya yang lama itu. Hmm, mengungkapkan cinta di sebuah ruang publik bukan perkara mudah. Dan bisa ditebak, banyak teman yang mengomentari pernyataannya, semuanya menyenangkan. Ki, yang hebat itu kamu. Saya salut!       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar