Sabtu, 22 Oktober 2011

Bermain Salju


Perkenalkan jagoan saya, Kafka Mory Altamis. Lahir tiga tahun yang lalu dengan bantuan operasi karena ada dua lilitan di lehernya. Ah, tapi, tak penting saya sampaikan itu. Yang ingin saya ceritakan adalah satu momen ketika saya dihentakkan oleh kenakalan sekaligus kebaikannya sebagai seorang anak manusia.
Siang itu hanya ada saya, Kafka dan pembantu. Memang, jika hari kerja saya ada di rumah berarti saya sedang cuti atau sedang sakit. Orang yang paling bergembira ketika saya tidak berangkat kerja adalah permaisuri saya. Menurutnya, Kafka lebih aman dengan bapaknya sendiri, ya iyalah! Permaisuri sukses dengan ojegnya berangkat ke kantor yang tak begitu jauh dari rumah. Saya mulai merencanakan dan membayangkan kesenangan-kesenangan apa yang akan saya dan Kafka lalui bersama. Ke bengkel? Makan siang di luar berdua saja? Main games? Lho, yang saya rencanakan ternyata tak lebih dari kesenangan-kesenangan saya pribadi. Saya tanya ke Kafka mau apa saja hari itu. Dengan senyum lebar dia bilang mau mainan dan beli film. Sebenarnya saya sudah tahu jagoan kecil ini akan menjawab itu, setidaknya pertanyaan saya mampu membuatnya senang. Jadi, saya akan dengan segera mengantarnya ke toko serba ada terdekat, beli mainan yang tidak mahal tentunya, yang penting mainan, setelah itu hinggap ke tukang film di komplek sebelah.
Motor saya membelah jalan komplek, Kafka saya bonceng di depan. Sambil jalan pikiran licik saya mencuat. Harus bicara apa ya agar beli mainannya tidak jadi. Oh ya, di rumah, saya dan permaisuri dipanggil panda dan manda. 
”Kafka, ini kan masih pagi, kayanya tokonya belum buka deh.” Kata saya.
”Udah buka kali panda.” Katanya.
”Belum dong, ini baru jam segini.” Timpal saya sambil memperlihatkan jam tangan yang menunjukkan pukul 8 pagi. Padahal, saya tahu benar, toko itu sudah buka setiap pukul 7 pagi.
”Oh, jadi belum buka ya panda.” Kafka mempertegas penjelasan saya.
”Iya, nanti agak siang saja ya kita keluar lagi ya.” Ucap saya sambil tersenyum penuh kemenangan.
Beberapa menit kemudian kami melintas di depan lapak penjual film, dan mudah ditebak, belum terlihat aktivitas di situ. Lapaknya masih kosong, karena saya tahu tukang film itu baru nongol sekitar pukul 10 pagi menjelang siang. Melihat kondisi tersebut, Kafka cuma bisa terdiam. Mungkin ia mengerti belum buka juga tukang film langganannya. Wah, terbayang kenikmatan saya, bisa istirahat, mendengarkan musik, menonton film yang belum sempat ditonton dan kesenangan-kesenangan yang lain.
Sesampainya di rumah, saya minta si mbak untuk membuatkan susu untuk Kafka, berharap ia tenang dan tidak mengganggu saya ketika menikmati hari tanpa kerja di kamar. Sesaat saya lega dan bisa leyeh-leyeh di pembaringan. Seperti yang saya duga, kenikmatan itu tidak berlangsung lama. Teriakan demi teriakan Kafka dan si mbak mulai saling bersahutan. Tanpa keluar kamar pun saya sudah bisa membayangkan, Kafka lari ke sana sini, naik ke meja, panjar lemari buku sambil teriak-teriak meniru jagoan fantasinya. Saya putuskan untuk tak beranjak dari tempat tidur, pikir saya, nanti juga lelah sendiri. Beberapa puluh menit kemudian, situasi yang saya harapkan terjadi, tidak ada lagi teriakan, hanya suara televisi dan suara si mbak sedang menyiapkan makan siang di dapur. Sedang apa Kafka? Asumsi saya, ia sedang duduk bersandar di sofa sambil menikmati film kartun.
Tak seberapa lama saya tergugah, seperti ada yang tidak beres. Seharusnya tidak setenang ini, kecuali Kafka sudah tertidur pulas. Saya beranjak, buka pintu kamar, melongok ke arah ruang tengah dimana televisi berada. Tidak ada tanda-tanda Kafka di situ. Saya keluar ke garasi, sepedanya ada, tapi tidak pemiliknya. Si mbak terlihat fokus dengan bumbu masakan, tidak ada juga di dapur. Di kamar si mbaknya kah? Saya segera periksa, tidak ada juga. Hanya ada satu ruangan yang belum saya lihat, kamarnya sendiri. Persis di sebelah kamar saya, hanya dipisahkan kamar mandi. Saat itu pintunya tertutup, saya buka perlahan. Saya panggil namanya.
”Kafka.. Kafka ada di dalam ya?”
Tak ada suara. Tapi saya dengar suara beberapa benda terjatuh. Kemudian saya dengar suara helaan nafasnya yang khas itu. Agak sok tua sih anak ini kalau sudah menghela nafas seperti itu. Pintu makin terbuka, tiba-tiba lantai yang saya injak menjadi licin, tapi bukan karena genangan air melainkan karena bedak bayi. Mata saya terbelalak melihat pemandangan kamar itu, berantakan memang, seperti biasanya. Semuanya putih, kasur dan semua mainan menjadi putih. Lantai menjadi putih dan licin. Secepat kilat pikiran saya membayangkan dua hal, marah atau tidak? Saya lakukan self talk. Jika saya marah, Kafka yang sedang tersenyum di depan saya ini pasti berubah menjadi takut dan penuh rasa bersalah, mungkin nantinya ia akan merasa tidak nyaman ketika hanya bersama saya di rumah ini. Secepat kilat pula saya kembali fokus. Kafka masih tetap tersenyum. Saya akhirnya tersenyum. Senyumnya merangsang saya untuk ikut tersenyum. Apalagi ketika jagoan saya ini mengatakan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya.
”Panda, main salju yuk!” Senyum kepuasan makin melebar. Kepuasan karena telah bersusah payah membuat kamarnya menjadi sebuah arena salju.
”Ayuk, tapi Kafka ngga takut jatuh?” Tanya saya.
”Ngga dong panda, Kafka kan berubah jadi Ultraman. Jadi ngga licin.” Jawabnya makin berimajinasi.
Ah, terima kasih ya Allah, saya memilih untuk tidak marah tadi. Saya teringat kembali betapa egoisnya saya yang berusaha mewujudkan kesenangan-kesenangan saya sebelumnya. Bahkan sampai meminta pengertian Kafka, dan Kafka pun mengerti. Hal yang sangat wajar jika ia mencari kesenangan lain di rumah dengan peralatan dan sumber daya seadanya. Dan saya harus bisa mengerti kesenangannya. Saya akan menjadi seorang bapak yang bodoh dan memalukan jika memarahinya. Seharusnya saya bersyukur, jagoan saya, anak yang kreatif dan penuh imajinasi. Kafka Mory Altamis, hari ini panda belajar sesuatu dari Kafka. Saya keluar kamar itu dengan hampir seluruh tubuh saya berubah putih, kecuali sedikit area di bawah kedua mata saya, agak berair di situ. Alhamdulillah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar