Sabtu, 22 Oktober 2011

Training For Trainer By Tukijo


Biasanya, Sabtu adalah hari dimana saya menikmati lelah setelah bekerja. Namun tidak untuk Sabtu di pertengahan bulan Juli kemarin. Agenda saya adalah mengajak Kafka ke rumah neneknya di Bukit Duri untuk kemudian menjemput mandanya di pusat perbelanjaan di kawasan Senayan.
“Mas maaf, namanya siapa ya?” Tanya saya.
“Tukijo Pak.” Jawab pria paruh baya di dekat saya ini.
Entah ada angin apa, obrolan kami makin lama makin asyik. Sepertinya saya dan Tukijo saling memahami satu sama lain. Topik obrolannya pun beragam, mulai dari pendidikan, ekonomi, politik, sampai prostitusi, mantap gak tuh! Suntuk dengan topik yang tidak penting itu, saya mulai mengarahkan obrolan ke Tukijo sendiri. Dan apa hasilnya? cukup mencengangkan bagi saya.
“Saya datang ke Jakarta ketika saya baru lulus SMP. Belum punya siapa-siapa di Jakarta. Saya nekad saja. Naluri merantau saya sudah bulat dan kuat waktu itu. Sesampainya di Jakarta, apapun saya kerjakan, yang penting perut terisi. Tapi tidak termasuk kerjaan yang menujur kriminal lho Mas. Waktu itu saya tinggal persis di samping kali kecil dekat Kuningan. Gubuk itu saya beli lho Mas, seharga berapa belas ribu gitu saya lupa. Uang segitu bagi saya waktu itu besar Mas, bisa buat makan seminggu. Jadi deh, saya kerja berkali-kali lipat kerasnya untuk memenuhi uang makan.”
Belum sempat saya menanggapi, Tukijo lebih jauh memaparkan ceritanya. Buat saya, nikmati saja dulu.  
“Buat saya ya Mas, bekerja itu membutuhkan beberapa syarat. Pertama, kita perlu punya alat. Nah alat bukan sembarang alat ya, tapi alat yang kita kuasai penggunaannya. Kedua, kalau tidak punya alat, ya harus punya keterampilan. Lebih bagus lagi alat dan keterampilannya cocok Mas. Ketiga, etika. Maksud saya, niat kita bekerja itu tulus gitu lho Mas, tidak ada niat buruk sama sekali, apalagi sampai menjatuhkan orang lain untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Keempat, teman Mas. Cepat atau lambat kita butuh teman untuk menunjang apapun pekerjaan kita. Kelima, kita harus tahu kita bekerja untuk siapa Mas. Untuk diri sendiri, orang tua, istri atau anak. Beda rasanya Mas, kita melihat hasil jerih payah kita dengan lebih bermakna. Keenam, konsultasikan hasil kerja kita dengan orang yang terpercaya. Kalau saya sih dengan istri di rumah. Ketujuh, ini yang paling penting Mas, tetap berdoa. Tuhan Maha segalanya Mas. Nah, hal-hal inilah yang membuat saya berani datang ke Jakarta.”
Saya sempatkan bertanya apa pencapaiannya sekarang.
“Kalau prestasi dalam bekerja sih tidak ada ya Mas. Tapi Alhamdulillah, sekarang saya punya rumah sendiri di daerah Pulo Gebang, tanahnya tidak terlalu luas sih Mas, hanya beberapa ratus meter persegi.”
Walah! Saya tertegun mendengarnya. Saya percaya, setiap orang memiliki sumber daya kesuksesan dalam diri masing-masing, termasuk Tukijo ini. Apa yang dikisahkannya, serta prinsip-prinsip hidup yang dimilikinya membuat saya belajar seseuatu. Terutama mengenai untuk siapa kita bekerja? Sangat mengena, terutama saya. Esensi bekerja sebagai kepala rumah tangga terlihat jelas dari sosok pria murah senyum ini. Saya terinsipirasi olehnya.
“Mas Tukijo, terima kasih atas pembelajarannya ya.” Sapa saya.
“Wah Mas ini, biasa aja lah Mas.”
“Iya lho Mas, saya ini trainer. Tapi hari ini, pastinya saya Mas Tukijo yang menjadi trainer buat saya. Terima kasih banyak lho.” 
Saya beri uang lebih dari yang tertera di argo. Tentunya tidak sepadan dengan apa yang saya dapatkan selama kurang lebih tiga puluh menit perjalanan dari Bukit Duri menuju kawasan Senayan. Oh ya, saya belum katakan, Tukijo ini seorang pengemudi taksi. Itu lho, yang kerjaannya seliweran mencari penumpang, hehehe…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar