Jumat, 21 Oktober 2011

Lari Pagi

Momen yang singkat namun berkesan ini terjadi pada Minggu pagi di pertengahan bulan Mei lalu. Tiba-tiba saja permaisuri mengajak lari pagi. Awalnya saya kira guyon semata, namun ajakannya disertai kesungguhan. Setelah dipikir-pikir, diingat-ingat, saya tanya kepada diri sendiri, kapan terakhir saya lari pagi, jawabannya ketika kuliah, hehehe… Setelah menikah, saya belum pernah merasakan lari pagi bersama istri tercinta. Kemana saja saya selama ini? Di saat orang-orang merasakan indahnya pagi dengan kesederhanaan berlari, saya entah di mana. Pantas saja tubuh ini makin tambun, langkah semakin berat dan semangat sering kendur. Saya harus segera merindukan kembali yang namanya lari pagi.
Minggu pagi itu, saya dan permaisuri bersiap layaknya pelari berpengalaman. Padahal masing-masing masih merasa canggung. Eh, canggung atau malu ya? Setelah hampir empat tahun tinggal di komplek ini, baru pagi itu menampakkan batang hidung kami. Jangan sampai bersua dengan tetangga sebelah, Pak RT dan Bu RT yang dapat dipastikan, setiap Minggu pagi berduaan pergi olah raga.
Keluar pagar rumah, kami putuskan jalan kaki sambil pemanasan. Sampai di jalan raya komplek, saya melihat beberapa orang yang berlari ke arah yang sama, ke sebuah boulevar di komplek sebelah. Tak kuat menahan malu karena kelamaan berjalan, kami pun berlari. Saya biarkan permaisuri berlari di depan, sehingga saya bisa mengawasi dari belakang. Padahal sih, saya tidak mau ia dengar kebisingan nafas saya yang tersengal-sengal.   
Sesampainya di arena lari, saya sedikit takjub. Ternyata banyak juga yang memanfaatkan pagi ini. Selain yang benar-benar berniat untuk lari, ada juga sekumpulan anak muda yang hanya duduk-duduk di pinggiran sambil menggoda para pelari cantik yang lewat di depannya. Kemudian ada beberapa pasangan lanjut usia yang bergandengan tangan dan berjalan beriringan. Di sudut putaran, beberapa penjaja makanan ringan khas pagi hari sudah siap dengan hidangannya. Terasa sekali kebersamaan, tanpa hiraukan keberagaman yang ada. Mengamati momen ini, saya sampai lupa, sudah berapa kali putaran saya berlari. Atau malah belum sampai satu putaran pun? Hahaha... Benar-benar pagi yang indah.
Tak butuh waktu yang lama bagi saya untuk melihat beberapa manfaat di pagi itu. Pandangan saya tertuju pada seorang bapak, tubuhnya mungil, rambutnya mulai menipis, handuk kecil melingkari lehernya yang basah dengan peluh. Saya amati sejak tadi, bapak itu tak henti-hentinya berlari. Kuat sekali pikir saya. Naluri bekomunikasi saya biasanya muncul secara otomatis. Saya tidak kuat menahan rasa penasaran berlama-lama. Benar saja, tidak lama kemudian, kami berlari beriringan.
”Pagi Pak.” Sapa saya.
”Pagi Mas.”
”Sudah berapa putaran Pak? Sepertinya mantap sekali kemampuan larinya. Kayanya Bapak bekas pelari.”
”Hahaha... Mas keliru, kemampuan berlari saya tidak seperti ini beberapa bulan yang lalu. Saya hanya membiasakan, saya mampu kaya gini ya karena terbiasa dan terlatih. Kalau kita mau, tubuh kita pasti merespon.”
Seperti ditonjok petinju kelas berat, wajah saya berubah sumringah bercampur malu. Pasti bapak ini sudah terbiasa pula mendengar nafas yang tersengal-sengal dari arah mulut dan hidung saya. Saya undur diri dengan alasan menemui permaisuri.
Sepanjang jalan kaki pulang, saya merenungkan ucapan bapak tadi. Mampu karena terbiasa, terlatih. Jadi ingat kalimat mentor saya di kantor, ia selalu mengucapkan kalimat yang sangat disukainya. ”I am not smart, but i am well trained”. Saya bukan orang yang pintar, namun saya terlatih. Ya, tepat sekali, saya dapat contoh nyatanya pagi itu.
Ternyata setelah dipikir-pikir, kalimat itu juga berlaku untuk sebagian orang, banyak orang atau bahkan mungkin semua orang? Tidak pintar, namun terlatih. Mbak Nurul, yang membantu kami di rumah, masakannya luar biasa enak. Saya pernah tanya belajar di mana, ia menjawab belajar sendiri. Artinya, ada proses untuk sampai dimana masakannya mendapat nilai enak. Jadi, ia bukan pintar memasak, tetapi terlatih memasak. Siapa lagi ya? Hmm, mama saya. Pelanggannya mengatakan beliau pintar sebagai penata rambut dan rias pengantin. Apakah mama langsung otomatis pintar ketika pertama kali lulus dari sekolah kecantikan? Saya yakin tidak. Saya masih ingat ketika mama bekerja di sebuah salon di Tebet. Mama pernah bilang, bekerja sambil mempelajari. Jadi, mama bukan pintar dalam urusan rias rambut dan pengantin, beliau terlatih.
Saya berterima kasih sebesar-besarnya untuk permaisuri, bapak pelari dan pagi yang benar-benar mencerahkan. Saya sungguh paham sekarang. Semua orang berhak menjadi pintar. Atau, lebih pas lagi, semua orang terlahir pintar. Namun tidak semua orang tergerak untuk mengasah kepintarannya masing-masing. Ketika seseorang dilabeli ”pintar” oleh orang lain, seakan-akan menjadi pembenaran untuk tidak mengasahnya lebih jauh. Ketajaman pisau saja perlu diasah menjaga ketajamannya, apalagi kepintaran. Jangan sampai otak kita menjadi tumpul dan kepintaran kita mandul. Latihlah, asahlah, semuanya perlu proses. Setiap hal yang terjadi ketika proses latihan adalah pendukung yang bermanfaat bagi kepintaran kita, dalam hal apa pun. Saya tidak pintar, namun saya terlatih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar