Sabtu, 22 Oktober 2011

Sapta Dewa


Jangan terburu-buru menilai apa itu Sapta Dewa. Ini bukan cerita pewayangan, bukan juga dongeng sebelum tidur. Sapta Dewa adalah sebuah pondokan yang kurang lebih dua tahun saya huni sampai saya lulus kuliah dan meninggalkan Jatinangor untuk kembali ke pangkuan ibu kota.
Awalnya pondokan ini tak lebih dari sebuah rumah kosong yang atapnya rata, terbengkalai karena pembangunannya terhenti. Terdiri dari tujuh kamar tidur, ruang tamu yang sekaligus ruang nonton televisi, dapur, ruang setrika dan tiga kamar mandi. Di samping kanan pondokan ini terdapat kebun singkong, yang ketika malam, gundukan tanahnya menyerupai kuburan. Di samping kiri, berpepetan dengan tempat kos lain, sepertinya sih kos untuk putri, karena kami sering diprotes, karena dianggap mengintip ketika kami sedang menikmati waktu sore di atap. Bagian belakang, berdempetan dengan rumah ibu nasi uduk, yang tiap pagi rajin menawarkan masakannya kepada jejaka-jejaka penghuni Sapta Dewa. Bagaimana dengan bagian depan? Jika Anda mampu membayangkan, ketika kami membuka pintu dan melihat keluar, hamparan sawah, jalan setapak yang membelahnya, dengan latar belakang gunung Geulis. Tempat favorit kami adalah atap Sapta Dewa, tentu saja bukan berniat untuk mengintip rumah kos tetangga, tapi untuk menikmati sejuknya sore, dan dinginnya malam Jatinangor.
Di malam libur, sebenarnya hampir tiap malam kami menganggap itu malam libur, biasanya atap yang datar menjadi tempat untuk berbagi. Berbagi cerita, masalah atau diskusi tentang apa saja. Dari atap inilah saya banyak belajar banyak hal. Para penghuni Sapta Dewa, bagi saya, tak ubahnya seperti pemberi ilmu yang justru makin mematangkan kiprah saya sebagai seorang mahasiswa.
Kamar satu. Dihuni seorang perantauan dari Lampung peranakan Jawa, Arif, lebih akrab ada embel-embel daerah di belakang namanya, Arif Lampung. Buat saya lebih cocok lagi dengan salah satu karakter di Sesame Street (Jalan Sesama). Hmm, kalau saya boleh informasikan, itu lho, boneka kodok yang berwarna hijau, hehehe...
Dari seorang Arif, saya mendapatkan pelajaran berarti. Ada niat positif dari setiap perilaku. Maksudnya apa ya kalimat itu? Begini ceritanya. Sobat saya ini, seingat saya, dua kali mengalami musibah. Yang pertama, kehilangan telepon genggam tepat di sarangnya sendiri, yaitu di kamarnya. Rumah kos kami termasuk sering dikunjungi teman-teman mahasiswa. Nah, inilah yang dimanfaatkan si maling, dengan bertingkah seperti teman kami, ia masuk dengan leluasa. Kamar Arif, terletak paling dekat dengan pintu depan, jadi, mampirlah itu maling ke kamarnya dan raiblah telepon genggamnya. Yang kedua, musibahnya lebih parah. Ia kehilangan motornya di area kampus di Bandung. Nah, anehnya, ia menceritakan musibah itu kepada kami dengan cengar cengir, alias seperti tidak pernah merasa kehilangan. Atau sebenarnya ia pintar menutupi kesedihannya? Yang pasti, ia mengatakan, kehilangan motor tidak berarti apa-apa jika pada nantinya akan tergantikan dengan yang lebih bermanfaat untuknya. Menurutnya, pisahkan antara niat dan perilaku. Perilaku si maling dan perubahan dirinya terevaluasi dari sisi manfaat. Ia berpikir, mungkin motornya lebih bermanfaat untuk orang lain saat itu. Mungkin, pemahaman-pemahaman ini yang membuatnya begitu tenang kala itu. Hebat Rif!
Kamar dua. Dihuni seorang mahasiswa tampan dan bersahaja, hehehe... Narsis tingkat akut saya keluar. Ya tepat sekali, penghuni kamar nomor dua ini saya. Karena tulisan ini tentang sobat-sobat Sapta Dewa saya, jadi kita langsung ke penghuni berikutnya.  
Kamar tiga. Dihuni dua orang yang berbeda kampus dengan penghuni kamar lainnya. Dadang dan Hery. Mereka kuliah di kampus sebelah, jurusan kehutanan. Bukan berarti mereka cocok di hutan lho ya. Dari kedua sobat ini, saya belajar sesuatu. Yang paling mencolok dari keduanya adalah, Dadang seorang pemikir, sering beranalisa dan penuh pertimbangan. Sebaliknya, Hery seorang pekerja. Baginya, terlalu lama berpikir justru semakin memakan waktu dan tidak efektif. Pernah dalam bulan Ramadhan, di satu sahur, terjadi hal yang menggelikan. Sudah jadi kebiasaan saya di Sapta Dewa, bangun lebih dulu dan membangunkan semuanya untuk sahur. Nah, Dadang ini termasuk yang sulit untuk dibangunkan. Kalaupun bangun, ia biasanya bertanya, mau makan di mana? Lauknya apa? Kira-kira warung nasinya ramai atau tidak? Biasanya juga, saya biarkan ia dengan pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Hery, setiap saya bangunkan langsung sigap, tanpa perlu ke kamar mandi, langsung menuju pintu depan. Lucunya, hampir selalu setiap kami kembali sehabis sahur, saya jumpai Dadang masih meringkuk dan berselimut sarung. Kalau sudah begitu, ya wassalam deh, hehehe... Walau berbeda, Dadang dan Hery saling menghormati. Melihat mereka saya memahami bahwa setiap orang memiliki model dunianya masing-masing. Gesekan pasti terjadi, tapi, gesekan juga bisa diperhalus atau bahkan dihilangkan dengan saling memahami satu sama lain.
Kamar empat. Dihuni salah satu sobat terdekat saya. Keturunan Betawi Tegal kalau saya tidak salah ingat. Orang tuanya menganugerahkan sebuah nama untuknya, Gunawan. Dari pemuda berdagu manis ini saya mendapatkan pelajaran mengenai nikmatnya penolakan, hahaha... Maaf Gun. Sobat saya ini, sejak lama menyukai seorang mahasiswi satu angkatan dan satu jurusan. Namanya tidak perlu saya ungkap di sini, biarlah menjadi rahasia kami. Masalahnya, Gunawan beberapa kali ditolak cintanya, entah mengapa? Saya sempat menyarankan untuk mengganti sasaran, tapi dengan semangat juang empat lima, ia tak mengindahkan saran saya tadi. Ia pernah bilang, pada saatnya nanti gadis pujaannya akan menyadari. Baginya, penolakan adalah tanda kurangnya pendekatan. Kalau bahasa kerennya, building rapport yang ia lakukan harus diubah caranya. Mungkin cara ia menyampaikan atau bahasa tubuhnya yang harus diperhalus. Lha, memangnya selama itu kasar Gun? Hahaha... Dalam satu perbincangan penuh canda, ia pernah mengatakan sesuatu. Sambil mengunyah singkong goreng ia katakan bahwa setiap orang memiliki sumber daya  yang dibutuhkan, dan bisa memperolehnya, termasuk ketika pendekatan terhadap gadis pujaannya. Mantap Gun!!
Kamar lima. Dihuni sobat terdekat saya. Keturunan Bumi Rencong, Aceh. Ardiyasa namanya. Karena terlalu resmi, cukup kami panggil Caca. Dipuja banyak mahasiswi di kampus sampai kami akhirnya harus memaklumi dan mengakui bahwa itu hal yang lumrah. Bagaimana tidak, perpaduan Mel Gibson dan darah suku indian ada dalam dirinya, hehehe... Dibalik pesonanya, saya mendapatkan banyak hal dari seorang Caca. Dalam berbagai hal, sobat saya ini lebih mengedepankan mana yang paling bermanfaat. Baginya, tidak hanya fokus pada yang dianggap paling benar atau salah, tapi yang paling bermanfaat. Jika menurut orang kebanyakan sesuatu dianggap salah, belum tentu baginya, jika bermanfaat dan ia punya alasan yang kuat, ia akan tetap lakukan. Misalnya, mohon maaf ya Ca, ia sangat rajin menyikat gigi, namun tidak dengan pasta giginya. Menurutnya, orang purbakala saja tidak pernah pakai pasta gigi, giginya masih utuh ketika ditemukan. Hmm, iya juga kali ya?
Selain yang tadi, sobat saya ini memiliki keunikan lain. Ia pintar memanfaatkan dan mengubah kamarnya menjadi berbeda dari kamar-kamar yang lain. Daya imajinasinya luar biasa. Satu saat saya lihat ia sedang membuat banyak titik di atap kamarnya dari bahan seperti cat yang berwarna hijau. Saya temukan jawabannya saat malam. Sebelum tidur, kamarnya sudah dalam keadaan gelap, saya lihat ke arah atap, wow, glow in the dark! Katanya, jarang-jarang kan, ada bintang bertebaran di dalam kamar.
Kamar enam. Dihuni seorang bertubuh gempal, waktu itu. Dikdik namanya. Kamarnya selalu terkunci dan gelap. Sering kita tidak bisa membedakan antara kamar dan gudang jika melongok kamarnya dari jendela. Sering tidak pulang, entah ke mana. Rajin menyanyi tapi terus terang kami tidak nikmati. Rajin mengaji dan enak sekali. Jadi, sering kami katakan, untuknya lebih baik mengaji daripada menyanyi. Semua menjadi berbeda ketika sobat saya ini sedang parkir di kamarnya. Keheningan berubah menjadi keriuhan, hahahah... Baginya, semua orang tidak bisa tidak berkomunikasi, dengan siapa saja kita bisa berkomunikasi, tanpa pandang bulu, pangkat, usia dan jabatan. Namun, perlu dicermati, makna komunikasi terletak pada respon yang didapat. Seperti respon yang ia dapat ketika ia bernyanyi. Dengan sigap, penghuni lain masuk ke kamar masing-masing, hehehe...
Kamar tujuh. Dihuni duo kembar lain ibu dan lain bapak. Bowo dan Pudin. Sama-sama aktivis kampus. Bowo, tipe pemikir dan gila baca. Pudin, pekerja dan tidak bisa diam. Nah, untuk urusan diskusi, Bowo pakarnya. Karena tubuhnya yang kecil dan kurus, saya menjulukinya kecil-kecil cabe rawit. Kalau sudah diskusi, bicaranya tertata dan selalu tepat sasaran. Satu syarat ketika ingin berdiskusi atau berdebat dengannya, jangan sampai dimasukkan ke hati. Karena bicaranya kritis dan tajam. Hampir tiap hari, kalau tidak menonton televisi, pasti sedang menikmati lembar demi lembar buku yang dibacanya. Ada satu kalimat yang saya ingat sekali dari sobat ini. Entah ini keluhan atau sekedar lelucon.
”Ry, buat gue, mandi itu tak lebih dari sebuah rutinitas yang membosankan. Nah, karena itu, gue mandi seadanya saja. Karena itu hasil dari pemikiran gue, dan gue yang mengendalikan pikiran gue itu, maka, gue juga bertanggung jawab akan apapun yang gue dapatkan karena mandi seadanya itu.”
Jujur, saya bingung mencerna kalimat-kalimat yang muncul dari mulutnya. Tapi, meskipun bingung, kalimat itu seakan terpatri di otak saya hingga kini. Bagi saya, Bowo tetaplah Bowo, sobat yang penuh dedikasi terhadap apa pun, bahkan terhadap kalimat-kalimat yang pernah ia ucapkan.
          Rekan sekamarnya, Pudin, untuk saya, lebih mudah dimengerti. Sedikit bicara, banyak bekerja. Jika ada sesuatu yang belum pernah ia tahu sebelumnya, ia bukan malah takut atau menghindar, melainkan ia songsong dan kerjakan saat itu juga. Baginya, itu merupakan tantangan. Pudin mengajarkan saya bahwa, tidak hanya harus berpikir keras untuk memahami sesuatu. Yang harus dilakukan adalah, lakukan saja, jalani saja. Salah atau benar lihat nanti, yang penting apa yang dilakukan bermanfaat, setidaknya bagi kita yang melakukan.
Momen-momen tadi membuat saya berpikir, banyak hal yang kita bisa dapatkan dari orang di sekitar kita. Masa-masa bersama keluarga Sapta Dewa sudah menjadi cerita indah yang memperkaya hidup saya. Kami seperti sebuah tim, sebuah keluarga yang selalu saling menjaga dan menghormati kebersamaan dan keutuhan Sapta Dewa. Kami sekarang terpencar, tapi hebatnya, Sapta Dewa tetap ada di hati setiap penghuninya, seperti saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar