Sabtu, 22 Oktober 2011

Si Babeh Kembang Tahu


Keakraban mulut saya dengan kembang tahu sudah terjadi sejak belasan tahun lalu. Ketika saya masih bujangan dan masih tinggal di istananya mama di Bukit Duri. Hampir tiap siang sepulang sekolah, tukang kembang tahu menyempatkan mampir ke rumah kami. Awalnya saya pikir, itu tukang kembang tahu kerajinan sekali. Bayangkan saja, rumah mama saya itu tidak terlihat dari jalan karena harus masuk ke gang kecil. Penanda rumah kami ada adalah papan nama usaha salon mama di depan. Nomor rumah mama pun ada ciri khasnya, No. 8 Blk, “Blk” berarti belakang, hehehe... Mungkin para tukang jajanan berpikir, tidak ada salahnya menyusuri gang kecil itu, tidak ada yang beli pun tidak menjadi masalah. Sekali waktu, mama beli beberapa porsi kembang tahu.
“Buat siapa Ma, koq banyak banget?” Tanya saya.
“Ya terserah, emang anak Mama Ai doang?” Jawabnya.
”Hahaha...!” Saya tertawa sambil mencomot satu mangkok lalu balik badan menuju daerah kekuasaan pribadi, kamar saya sendiri maksudnya, hehehe...
Nah, rutinitas itu hampir tiap siang terjadi. Tepat setelah sepulang sekolah, kira-kira pukul dua siang. Mau dibeli atau tidak, tukang kembang tahu selalu menyempatkan mampir. Bahkan kelamaan bukan sekedar mampir untuk menjajakan kembang tahunya. Biasanya, mama menawarkan air minum untuk pelepas dahaga. Kalau lagi beruntung, itu tukang bisa minum soft drink atau es sirup. Kalau lagi apes, ya air putih saja cukup. Entah karena kebiasaan ini atau bukan, pernah beberapa kali tukang kembang tahu memberikan beberapa porsi jajanannya dengan gretong, alias gratis. Mama pernah bilang, tidak terlalu penting kita beli atau tidak, tapi bagaimana kita bisa membina hubungan dengannya meski tidak kenal, pada akhirnya pasti akan bermanfaat.
”Jika kita memiliki nilai dan tindakan positif untuk seseorang, jangan ragu, pertahankan nilai itu dan terus lakukan. Contohnya ya dengan memberi air minum bagi tukang penjaja yang mampir. Hargai upaya mereka yang mau masuk-masuk ke gang untuk menuju rumah ini. Ini gang buntu lho. Selalu ada niat baik. Makanya, kita juga balas dengan niat baik.”
Bisa aja si mama nih, pikir saya waktu itu.
Sejak November 2007 saya menempati rumah sendiri di daerah Pekayon Bekasi. Ada kerinduan tersendiri terhadap apa yang terjadi dengan saya, mama, dan tukang kembang tahu belasan tahun lalu. Satu siang saya duduk di beranda, tersenyum sendiri saya bertanya-tanya dalam hati. Kemana tukang kembang tahu itu sekarang ya? Masih setia dengan kembang tahunya, atau sudah menjadi pengusaha kembang tahu tersukses? Wah, semoga saja. Masih terasa keunikan rasa kembang tahu dan airnya menghangatkan. Di mana di Bekasi ini saya bisa jumpai?
Di satu siang lainnya, saya tidak bekerja, cuti. Ketika duduk di ruang tamu dan  merasakan “hangatnya” Bekasi yang agak berlebihan, sayup-sayup saya mendengar suara khas penjual kembang tahu. Wah, pucuk dicinta ulam pun tiba! Saya bergegas keluar, membuka pintu samping, buka pintu pagar, melongo ke kanan dan kiri sambil pasang telinga berharap menangkap arah suara tukang kembang tahu. Tanpa alas kaki, saya jejakkan kaki menuju blok sebelah. Suaranya makin terdengar kuat, pasti tidak jauh pikir saya. Tak berapa lama, suara itu makin samar-samar dan tak terdengar lagi.
”Jaaahhhh, kemana tuh tukang kembang tahu.” Saya mengumpat di tengah jalan.
“Lagi berhenti ngelayanin pembeli kali Pak!” Tiba-tiba pembantu rumah sebelah bersuara.
”Ooh gitu ya Mbak. Saya tungguin di rumah aja deh.” Saya berlalu kembali ke rumah.
Baru saja membuka kamar, terdengar suara tukang kembang tahu lagi. Makin lama makin kuat. Saya yakin, ini pasti segera melewati depan rumah. Benar saja, dari arah kebalikan saya mengejar tadi, ia muncul. Seorang bapak tua, berkulit hitam, memakai topi dan handuk mengikat lehernya sambil mengayuh sepeda membunyikan suara khas tukang kembang tahu.
”Ooh, kalau di sini, tukang kembang tahu naik sepeda ya. Lebih canggih dari Jakarta dong, di sana masih dipikul.” Gumam saya.
”Bang..!”
”Bang..!”
Perlu berkali-kali saya panggil tukang itu. Kecepatannya mengayuh sepeda sepertinya mengganggu pendengarannya, hehehe... Jika yang saya lakukan tidak efektif, saya ubah pendekatan saya. Saya panggil dengan panggilan semau udel saya.
”Babeh kembang tahuuu...!! Kemari dong Beh, mau nyobain..!”
Si babeh kembang tahu berhenti. Menoleh ke arah saya, kemudian memutar sepedanya.
”Berapaan Beh?”
”Empat ribuan Mas.”
”Wah, jangan panggil Mas dong Beh. Panggil aja Kasep. Hahaha...!!”
”Iya deh Mas Kasep.” Dengan polosnya si babeh mengiyakan.
”Jiiaaah, si Babeh, gak usah pake Mas, Kasep aja.” Paksa saya.
”Iya iya, Kasep, hehehe...” Si babeh nyengir juga.
Itulah awal komunikasi saya dengan si Babeh kembang tahu. Kemudian, hal ini seperti menjadi rutinitas. Hampir tiap hari, menurut pembantu saya, babeh kembang tahu selalu menyempatkan menghampiri rumah saya. Ada atau tidak ada saya di rumah. Setia menawarkan kembang tahunya. Saya pernah sedikit bereksperimen, pada satu akhir pekan, sengaja saya tidak keluar rumah ketika babeh kembang tahu datang. Apa yang terjadi? Ia hilir mudik beberapa kali di depan rumah saya. Sampai akhirnya saya keluar.
”Beh, kenapa tadi bolak balik?”
”Oh, yang pertama, mungkin Kasep tidak mendengar. Yang kedua, kali aja Kasep belum ngeh saya datang. Seterusnya ya semau saya saja mau berapa kali bolak balik.”
”Koq bisa begitu? Ke yang lain juga? Kalo iya, babeh bisa capek dong. Kalo saya tidak beli gimana?”
“Wah, tidak masalah, saya jadi lebih sehat, genjot sepedanya lebih banyak,. Lagipula, saya suka dipanggil babeh, kaya beda gitu. Serasa lebih diperhatiin.”
“Lebih dihargai gitu maksud Babeh?”
Babeh tak menjawab, hanya mengangguk. Menunggu babeh menyiapkan pesanan, sesaat saya teringat mama dan kembang tahunya. Jika kita memiliki nilai dan tindakan positif untuk seseorang, jangan ragu, pertahankan nilai itu dan terus lakukan.
”Beh, mau minum? Kali aja ada yang menyegarkan di rumah saya.”
Saya rangkul masuk ke dalam rumah.
”Mbak, ada sirup atau soft drink gitu?”
”Habis Pak!”
Walaahh, mau diletakkan di mana muka saya? Niatnya mau memberi yang terbaik, tidak kesampaian. Tidak mungkin kan babeh saya minta tunggu untuk dibelikan soft drink atau sirup.
”Beh, maaf, adanya hanya air putih.” Saya sodorkan minum dengan wajah memerah karena malu.
”Wah, Alhamdulillah... Terima kasih banyak. Air putih yang terbaik. Paling bermanfaat diantara air minum lainnya.”
Mendengar itu saya melongo... Kemudian babeh pamit untuk melanjutkan berjualan. Saya tutup garasi sambil bicara dalam hati.
”Saya yang terima kasih Beh..”

1 komentar:

  1. wah kang, masih jualan ga itu si babeh.. kangen pengen makan kembang tahu

    BalasHapus